YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Sabtu, 03 November 2012

Satu Domba Dua Karib

Kredit sekian triliun rupiah di Bank Mandiri rawan macet. Agresifnya pembelian aset kredit dari BPPN dan pengucuran pinjaman ke sejumlah politikus dituding jadi penyebab.

SERATUSAN orang pengunjuk rasa berteriak-teriak di depan kantor pusat Bank Mandiri, Jakarta, Selasa pekan lalu. Terik sinar matahari tak menyurutkan semangat mereka. Sambil mengusung aneka poster dan spanduk, mereka menyoal gunungan kredit bermasalah di bank beraset Rp 250 triliun itu. Bank pelat merah yang baru go public itu dituding telah berlaku sembrono dalam menyalurkan kredit, dengan mengabaikan syarat kelayakan usaha para debitornya. "Triliunan rupiah uang rakyat di Bank Mandiri telah dikelola seenaknya," kata Anton, salah satu demonstran.

Para pengunjuk rasa yang antara lain menggabungkan diri dalam perkumpulan bernama Gerak—Gerakan Rakyat Anti-Korupsi—itu rupanya tak asal bicara. Mereka mengaku telah mengantongi segepok data sebagai bukti. Salah satunya menyangkut pembelian kredit PT Domba Mas dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) senilai Rp 1,15 triliun, yang pembayaran cicilannya kini masuk kategori kurang lancar.

Pengamatan TEMPO di lokasi pabrik Domba Mas, perusahaan eksportir kacamata, di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, memang mendapati suasana muram. Dalam tiga bulan terakhir, perusahaan itu terus melakukan pengurangan pegawai. Dari jumlah semula 1.500, kini tinggal 700 karyawan saja.

"Kami ditawari mengundurkan diri dengan alasan efisiensi dan volume ekspor berkurang," kata Simamarta, seorang pegawai di sana yang masa kerjanya enam tahun disudahi dengan dana pesangon Rp 9 juta.

Bos Domba Mas, Sutanto Lim, pun kini jarang terlihat di pabrik. "Dia sekarang lebih suka mengurus usaha kebun sawit dan peternakan babi," ujar Simamarta lagi.

Selain Domba Mas, juga dipermasalahkan penyaluran sejumlah besar kredit kepada para politikus. Salah satunya adalah Oesman Sapta. Para demonstran menuding, pinjaman kepada pengusaha yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat itu diberikan secara tak patut, dan digelontorkan semata berdasar kedekatan hubungan Oesman dengan Direktur Utama Bank Mandiri, E.C.W. Neloe. Salah satu bukti, masih kata barisan pemrotes, adalah keanggotaan Novan Andre Paul Neloe, putra Neloe, di Partai Persatuan Daerah yang diketuai Oesman.

Dokumen akta pendirian partai itu, yang diperoleh TEMPO, memang menunjukkan hal serupa. Dibuat di depan Notaris Herlina Pakpahan di Rangkas Bitung, nama Novan jelas tercantum sebagai salah satu pendiri.

Politikus lain yang kena senggol dalam urusan kredit bermasalah ini tak hanya Oesman. Masih ada seorang lagi, Habil Marati, anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR. Wakil rakyat dari daerah pemilihan Sulawesi Tenggara ini disinyalir telah menerima kucuran dana Rp 300 miliar untuk membiayai proyek pemrosesan cokelat, pabrik seng, pembibitan udang, dan pengalengan ikan.

Kenyataannya, kata Anton, demonstran yang juga berasal dari Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, "Proyek-proyek itu tak berjalan sehingga kreditnya berpeluang macet."

Pekan ini Anton dan kawan-kawan akan berbondong-bondong menemui pimpinan Dewan di Senayan. "Kami akan membuka data-data yang lebih terperinci kepada mereka yang berkomitmen dan berkompeten meneruskan kasus ini," ujar Abdul Haris Maraden, koordinator pengunjuk rasa.

Berbagai kecurigaan yang telah dilansir ke muka publik itu tak pelak menempatkan Bank Mandiri kembali berada di bawah lampu sorot. Soalnya, untuk urusan membeli aset kredit, bank pemerintah terbesar ini memang tergolong sangat agresif. Sampai akhir semester lalu, "Si Pita Emas" tercatat telah memborong aset kredit dari BPPN senilai Rp 4,9 triliun.

Apalagi, belum lama ini Deputi Gubernur Bank Indonesia Maman Soemantri telah merilis peringatan: salah satu penyebab naiknya rasio kredit busuk perbankan adalah pembelian aset kredit dari BPPN secara ugal-ugalan. "Kalau bank tak mampu mengelola sehingga kualitasnya turun, kredit macet bisa bertambah," Maman mengingatkan.

Lampu kuning pun telah menyala dari sejumlah data. Menurut laporan yang dilansir untuk para investor, kualitas kredit Bank Mandiri memang tak begitu mulus. Jumlah kredit dalam pengawasan yang membaik menjadi kredit lancar, misalnya, cuma senilai Rp 2,2 triliun. Sebaliknya, jumlah kredit lancar yang turun tingkat menjadi kredit dalam pengawasan mencapai Rp 2,4 triliun.

Alarm berbunyi makin keras di tingkat selanjutnya. Jumlah kredit kurang lancar yang membaik ke kredit dalam pengawasan cuma Rp 300 miliar. Sebaliknya, kredit dalam pengawasan yang memburuk ke kredit kurang lancar melonjak menjadi Rp 1,4 triliun.

Mungkin itu sebabnya Bank Mandiri belakangan ini jadi begitu waspada. Ibarat petinju, mereka sudah memasang double cover rapat-rapat untuk menghadapi risiko melonjaknya kredit macet. Rasio penyisihan penghapusan aktiva produktifnya (PPAP) dipatok hingga 178,2 persen dibandingkan dengan kredit macet. Nilai PPAP itu Rp 4,5 triliun lebih tinggi daripada provisi minimum yang ditetapkan oleh bank sentral.

Toh, pihak-pihak yang terkait membantah berbagai sinyalemen minor Gerak di atas. Wakil Presiden Direktur I Wayan Pugeg menyatakan banknya tak goyah seinci pun, karena aset-aset tersebut dibelinya dari BPPN dengan harga megadiskon. "Cuma 15-20 sen dan tergolong utang lancar," ujarnya. Termasuk yang masih lancar, kata Pugeg, adalah kredit Domba Mas di atas. "Kalau ada short liquidity di sebuah perusahaan, itu kan biasa. Tapi nggak sampai macet, kok," ujarnya.

Subiyanto, General Manager Domba Mas, juga membantah kabar tak sedap yang menerpa perusahaannya. Semasa krisis, katanya, pihaknya memang sempat mengalami kesulitan membayar pinjaman. Apalagi jumlah utang pun meroket gara-gara lonjakan kurs. Tapi kini kondisinya berbeda. "Pembayaran kredit sekarang masih tergolong lancar," kata Subiyanto dalam jawaban tertulisnya kepada majalah ini.

Seorang pejabat Mandiri membisikkan, dua pekan lalu Domba Mas telah kembali mengangsur pembayaran utang. Tapi belum jelas apakah cicilan itu untuk masa satu bulanan atau tiga bulanan. "Kalau bulanan, berarti bulan depan kreditnya masuk kategori lancar lagi. Tapi, kalau tiga bulanan, ya baru tiga bulan lagi dihitung kategori lancar," ujarnya.

Habil Marati, yang kini sedang mencalonkan diri menjadi Ketua Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, pun membantah kreditnya di Mandiri bermasalah. "Saya memang mendapat kredit dari Bank Mandiri, tapi nilainya kecil. Tak sampai Rp 300 miliar dan masih lancar," katanya. Sebagai pengusaha, menurut Habil, wajar-wajar saja jika dia mendapat pinjaman. "Kalau nggak boleh dapat kredit, nggak maju dong perusahaan saya," kata anggota Komisi Perbankan DPR itu.

Di luar urusan dinas, Habil mengaku telah lama berteman karib dengan Neloe. "Saya sudah dekat dengan Neloe jauh sebelum dia menjadi Direktur Utama Mandiri," ujarnya. Kebetulan, mereka lahir pada tanggal dan bulan yang sama. Namun Habil menepis tuduhan bahwa faktor hubungan intim itulah yang telah memuluskan kucuran kredit ke perusahaannya. "Kedekatan saya dengan dia murni pertemanan," ujar Direktur PT Batavindo Kridanusa itu. "Sebagai bankir, dia juga akrab dengan banyak politikus lainnya."

Lain Habil, lain lagi Oesman Sapta. Kepada mingguan ini Oesman bahkan membantah memiliki sangkutan kredit dengan Bank Mandiri. "Saya tak punya utang sepeser pun ke Bank Mandiri," ujar pengusaha hutan yang juga menjabat Presiden Komisaris Lion Air itu.

Sebagai teman, kata Oesman, ia malah merasa kerap dirugikan kebijakan Neloe. Sewaktu Mandiri menjual saham, misalnya, ia tak boleh ikut memesan. "Padahal saya kan mau untung juga," katanya. Dalam soal perkawanan itu, dia mengaku tak cuma bersahabat karib dengan Neloe, tapi juga berhubungan erat dengan anak-anak sang Direktur Utama Mandiri. "Kalau anaknya masuk partai saya, apa salahnya?" Oesman balik bertanya.

Nugroho Dewanto, Y. Tomi Aryanto, Thomas Hadiwinata, Bambang Soedjiartono (Medan)

Majalah Berita Mingguan Tempo, 20 Oktober 2003) -http://majalah.tempointeraktif.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar