YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Sabtu, 03 November 2012

Melibas Mafia Peradilan

Menteri Kehakiman Prof. Muladi bakal menggebrak mafia peradilan. Bagaimana kendala dan ekspektasinya?

MAKHLUK yang satu ini acap disebut-sebut, dicaci, bahkan diburu. Ia diakui dan dirasakan selalu menghantui proses peradilan, namun tak kunjung terjamah wujudnya. Bahkan ketika jabatan Menteri Kehakiman kini diemban Prof. Muladi, orang pun kembali mensinyalimya: “mafia peradilan”.

Meski hasrat awal Menteri Muladi hendak membabatnya, toh banyak aparat peradilan, termasuk Muiadi, tak setuju dengan istilah rnafa peradikln. Begitupun, hampir tiada yang tak sepakat bahwa berbagai praktik negatif di peradilan entah korupsi, kolusi, percaloan perkara, ataupun pungutan nan jauh melampaui tarif resmi–mesti segera diberantas.

Tinggal sekarang persoalannya, bagaimana mendekatkan hal yang senyatanya (das sein) dengan yang seharusnya (das sein). Setidaknya, contoh fenomena yang pernah mencuat di Pengadilan Negeri (PN) Medan bisa ditilik kembali. Pada tahun lalu, sebanyak 61 pengacara di sana sampai melapor ke berbagai instansi pemerintah lantaran praktik calo perkara di Medan semakin merajalela.

Namun, pengaduan itu tak mengubah keadaan, bahkan para pengacara itu yang terkena intimidasi. Betapapun, di Medan, orang tak henti-hentinya mendengungkan berbagai praktik negatif di pengadilan.

Pernah ada penetapan waris yang diajukan anak yatim-piatu untuk mengurus tunjangan pensiun orang tuanya sampai mesti dibayar Rp 300 ribu. Dan, ongkos pengiriman berkas perkara dari PN Medan ke Pengadilan Tinggi Sumatra Utara–yang cuma bersebelahan dinding–bisa seharga Rp 50 rihu.

Belum lagi suara miring tentang hakim di sana. Misalnya yang dialami Edison Lumbanbatu, 45 tahun. Lelaki berewok itu menggugat bekas perusahaannya untuk membayar gaji dan tunjangan kesehatannya selama dua tahun lujuh bulan, sebesar Rp 400 juta. Perkaranya ditangani majelis hakim yang diketuai Kimar Saragih.
Menurut Edison, ia pernah didatangi seseorang yang mengaku utusan hakim Kimar. Orang itu menyampaikan pesan Kimar: bila Edison mau menang, ia hrus memberi 10 persen dari nilai gugatannya–berarti Rp 40 juta–ke alamat Kimar. Tapi, Edison enggan mengabulkan pesanan itu.

Setelah perkaranya berkali-kali disidangkan–janggalnya menurut dison, hakim sering menyidangkan gugtan itu di ruang kerjanya–ternyata, pada 19 Februari lalu. majelis hakim menyatakan tak berwewenang mengadili gugatan Edison. Keruan saja, Edison mengadukan ulah hakim ke berbagai pejabat tinggi di Jakarta.

* Dibantah Hakim

Apa kata hakim Kimar Saragih? “Orang yang kalah biasa banyak omong. Coba kalau ia menang ?” ujar hakim yang bermasa kerja 27 tahun itu. Lantas, ia menambahkan, “Kalau masalahnya sekecil itu, apa mungkin hakim mh1ta Rp 40 juta? Lantas, soal sebelum sidang, wajar kan ngumpul dan ngorol di ruangan.”

Yang diprotes Guntur P Napitupulu lebih seru lagi. Syahdan, Guntur digugat oleh Bank Mestika Dharma Medan karena kreditnya senilai Rp 76 juta macet. Perkaranya diadili majelis hakim yang dipimpin P. Simanjuntak.

Suatu waktu, Guntur menyelesaikan urusan kredit itu ke kantor Bank Mestila Dharma. Rupanya, ia ditemani hakim Simanjuntak. Sang hakim naik mobil Guntur: sementara Guntur sendiri menggunakan taksi. Lantas, disepakati bahwa Guntur mesti membayar utangnya yang menjadi sebesar Rp 92, juta. Selesai? Ternyata, gugatan terhadap Guntur tetap disidangkan.

Toh setelah masalah itu diributkan, seperti juga hakim Kimar, hakim Simanjuntak menyatakan bahwa tudingan Guntur tidak benar. Menurut Shimanjuntak yang telah 30 tahun menjadi hakim, ia memang pernah ditawari Guntur untuk membantu penyelesaian kredit tersebut di kantor Bank Mestika Dharma. Tapi, hakim Simanjuntak menolaknya.
Sampai suatu hari, tutur hakim Simanjuntak, kebetulan harus bertemu Guntur di kantor Bank Mestika Dharma. “Waktu itu, saya sedang mengurus kepindahan kerja anak saya, dari Bank Danamon di Binjai ke Bank Mestika Dharma di Medan itu,” kata Simanjuntak.
Gara-gara ulah Guntur, hakim Simanjuntak mengaku dirinya merasa dipermalukan. Begitu juga anak-istrinya, jadi tertekan. Namun, “Saya tak akan menuntut dia. Kalaupun saya salah, biarlah saya pertanggungjawabkan kepada Tuhan,” ujarnya.

* Tak Tuntas

Lain pula yang pernah terjadi di PN Surabaya. Seorang terdakwa perkara pemalsuan merek sandal ando terang-terangan menuding hakim J.E. Wongsonegoro telah menerima uang Rp (5 juta dari pihaknya. Sang hakim, sih mintanya Rp 100 juta. Ee… tak tahunya, si terdakwa tetap dikenakan penahanan.

Sebetulnnya. Nyonya Cindrawati juga menyatakan bahwa pihaknya, melalui seorang anaknya bernama Bunarto, telah sepakat dengan hakim Eko Wardoyo, Ketua PN Surabaya. Agar gugatan Cindrawati atas tanah seluas 14.20 meter persegi bisa menang penggugat diperkenankan membayar Rp 75 juta dari Rp 125 juta yang ditawarkan sebelumnya. Ternyata, Cindrawati kecele: dia tetap kalah.

Belum pupus kisah Cidrawati, sebanyak 125 orang bekas karyawan PT Dharma Lautan, yang menggugat perusahaannya itu, jua “bernyanyi” bahwa hakim M. Husein telah menerima suap dari lawan perkaranya sehingga gugatan mereka dikalahkan. Soalnya, kata mereka hakim Husein sebelumnya meminta mereka masing-masing menyediakm dana Rp 1 juta, tapi mereka tak mampu membayarnya.

Namun, begitulah, kebanyakan isu suap hakim yang ditudingkan pencari keadilan acap tak berbekas kemudian. Pengadilan Tinggi Jawa Timur, misalnya, hanya menyatakan bahwa tuduhan ke arah hakim Wongsonegoro dan hakim M. Husein tidaklah benar.
Dengan mengamati berbagai fenomena itu, menurut pengacara Trimoelja D. Soerjadi, sepertinya ada kesan bahwa lembaga pengadilan cenderung melindungi koleganya.

Kalaupun ada mekanisme dan pemberian sanksi, itu hanyalah administratif. “Tak pernah ada kasus hakim yang diajukan ke pengadilan,” ucap pengacara di Jawa Timur itu.
Tak cuma aspek law eforcement begitu agaknya yang mesti diperhatikan Menteri Kehakiman Muladi bila hendak memberantas kolusi dan korupsi di pengadilan.
Menurut pengacara O.C. Kaligis, aspek pencegahan pun perlu dilakukan untuk menanggulangi sebab-sebah munculnya kolusi dan korupsi. Antala lain, “Rotasi penempatan hakim di suatu tempat sampai lima tahun. Apalagi panitera, bisa 20 sampai 25 tahun. Kalau terlalu lama, mereka akan sangat ‘menguasai’ daerahnya,” kata Kaligis.

Selain itu tentu saja aspek kesejahteraan hakim, khususnya gaji. “Saya sudah menjadi hakim selama 30 tahun, bergaji pokok dan tunjangan sebesar Rp 1,3 juta. Dengan uang sebesar itu mesti hidup dan bertugas di kota hesar seperti Jakarta. Padahal, hakim mesti menjaga kehormatan dan kewibawaannya. Hakim kan manusia biasa, yang tak mustahil bisa tergoda,” kata seorang hakim di Jakarta.

Boleh jadi, masih banyak lagi kendala untuk mewujudkan citra peradilan. Kendati demikian, yang jelas, hampir semua pihak mendukung hasrat Menteri Kehakiman Prof Muladi untuk membersihkan peradilan. Karena itu, mereka berharap agar gebrakan Muladi konsisten dan tak ragu-ragu bila hendak menindak hakim.

Laporan Gatot Prihanto (Jakarta, Bambang Soedjiartono (Medan), dan Abdul Manan (Surabaya). D&R, Edisi 980404-033/Hal. 72 Rubrik Hukum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar