YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Sabtu, 03 November 2012

Laporan Utama Majalah TEMPO - GAM



Jalur Maut GAM
GAM menghilang dari kota dan desa. Mereka menyebar di hutan, gunung, dan rawa.TAK salah bila pasukan Gerakan Aceh Merdeka menasbihkan diri sebagai penentu lokasi pertempuran. “Kamilah yang menentukan kapan dan di mana perang akan berlangsung,” kata juru bicara GAM, Teungku Sofyan Daud. Taktik gerilya membuat pasukan GAM, yang telah raib dari kota dan kampung, bisa muncul di mana saja.
Sofyan Daud sendiri sampai kini tak tentu rimbanya. Ia hanya bisa dihubungi lewat telepon bergerak satelit yang selalu ditentengnya selama bergerilya. Menurut data Satuan Tugas Mobil 1 TNI, posisi Panglima GAM Wilayah Pase ini di sekitar Rantau Seulamat, Aceh Timur. Sebelumnya ia dan pasukannya dikabarkan berada di sekitar rawa-rawa dekat Desa Meunasah Raya di kawasan Jambo Aye, Aceh Utara. Sepekan lalu, TNI mengepung dan menyiram rawa-rawa itu dengan peluru. Tapi dia lolos.
Ke mana Sofyan dan pasukannya? Tak seorang pun tahu. Sofyan pun enggan ditanya soal posisinya.
Di seantero Aceh, ada empat daerah yang ditandai sebagai daerah hitam–daerah basis GAM–yaitu Aceh Timur, Aceh Utara, Bireuen, dan Pidie. Di daerah-daerah inilah sebagian besar dari 5.000 anggota GAM tersebar. Patut dicatat, keempatnya terletak di sepanjang jalur darat dari Banda Aceh menuju Medan. Tidak mengherankan jika di jalur ini kerap terjadi sweeping dan penghadangan oleh GAM. Korbannya tak hanya aparat TNI, tapi juga warga sipil yang tengah melintas.
Pada 3 Juni lalu, misalnya, GAM menghadang konvoi truk TNI di Desa Simpang Tiga Beracan, Kecamatan Trieng Gading, Pidie. Dua anggota TNI luka ringan dalam peristiwa ini. Dua hari kemudian, GAM menghadang 21 anggota pasukan Cakra 21 yang tengah menuju Alue Bate, Peureulak, Aceh Timur, dari Panton Labu, yang melukai anggota Tim Cakra, Prajurit Kepala Junaidi.
Penghadangan besar dilakukan pasukan khusus GAM pada Selasa, 10 Juni, menjelang petang di jalan Desa Matang Kumbang, Kecamatan Peusangan, Aceh Utara. Sekitar 60 anggota TNI dihujani tembakan senjata berat dari punggung bukit Sudan di seberang jalan. Pertempuran besar sampai hari gelap ini menewaskan tujuh prajurit TNI dan lima anggota GAM, satu di antaranya anggota pasukan khusus wanita GAM, Inong Balee.
Gerilya GAM tampaknya membuat pasukan TNI harus senantiasa waspada, terutama tatkala melewati jalur maut tersebut.
Tomi Lebang, Abdul Manan (Aceh)
+++
Posisi Strategis
- Kawasan Paya Meuligoe, Aceh Timur
- Keude Geurubak, Idi Rayeuk, Aceh Timur
- Kuala Simpang Ulim, Simpang Ulim, Aceh Timur
- Leupen Sireun, Aceh Utara.
Tempat Latihan
- Sungai Leu’i, Aceh Tamiang : Daerah ini merupakan tempat latihan bagi tentara baru GAM.
- Paya Meuligoe, Aceh Timur : Pendidikan lanjutan setelah dari Sungai Leu’i.
- Keude Geurubak, Idi Rayeuk, Aceh Timur : Pendidikan tingkat perwira untuk tentara GAM. Banyak panglima GAM di berbagai daerah lulusan kamp pelatihan ini.
Penyebaran Kekuatan
DESA TANJUNG KERAMAT, KABUPATEN ACEH TAMIANG
Panglima: Syamsuddin
Kapolda: Rajali
Gubernur: Teungku Dun alias Abu Tapa
Pasukan: 300 personel
Senjata: 10 pucuk
IDI RAYEUK, ACEH TIMUR
Panglima: Ishak Daud
Pasukan: 400 personel
Senjata: 217 pucuk
DESA MATANG ULIN, KECAMATAN LHOKSUKON, ACEH UTARA
Panglima: Muzakkir Manaf
Wakil Panglima Wilayah Pase: Sofyan Daud
Panglima Muda Daerah I Wilayah Pase: Ramli Basam
Gubernur Wilayah Pase: Said Abnan
Pasukan: 100 personel
Senjata: 80 pucuk
KECAMATAN RANTAU SEULAMAT, ACEH TIMUR
Panglima Wilayah Peureulak: Teungku Sanusi bin Malih
Pasukan: 827 personel Senjata: 344 pucuk
PAYA MEULIGOE, ACEH TIMUR
Panglima Wilayah Peureulak: Teungku Sanusi bin Malih
Pasukan: 217 personel
Senjata: tidak diketahui pasti
KUALA SIMPANG, ACEH TIMUR
Panglima Sagoe: Bahrom
Pasukan: 18 personel
Senjata: 8 pucuk
ACEH UTARA
Panglima Wilayah Batee Iliek: Teungku Darwis Jeunib
Wakil Panglima Wilayah Batee Iliek: Cut Manyak
Pasukan: 1.318 personel
Senjata: standar 815, rakitan 75
DESA JAMBO MEURITI, KECAMATAN JAMBO AYE, ACEH UTARA
Panglima Sagoe: Apacik
Kapolres: Saefuddin
Pasukan: 100 personel
Senjata: 80 pucuk
TEMPO Edisi 030622-016/Hal. 32 Rubrik Laporan Utama
----------------------------------------------------
Dari Jalur Tikus sampai Rute Ganja
PERANG di Aceh hampir genap sebulan. Korban terus berjatuhan. Di pihak TNI, sedikitnya 23 tewas, 50 terluka, dan seorang hilang. Korban warga sipil mencapai 68 orang. Di pihak GAM, sedikitnya 172 tewas, 111 ditangkap, dan 144 menyerah. Padahal anggota GAM mencapai 5.300 orang. Fakta ini mengundang pertanyaan besar, ke manakah ribuan anggota GAM lainnya?Tiarap atau membaur bersama masyarakat sipil keluar dari Aceh. Itulah yang ditengarai Panglima Komando Operasi TNI Brigjen Bambang Darmono. “Saya pikir selama darurat militer mereka tiarap atau membaur di tengah masyarakat sipil,” katanya. Kenyataannya memang banyak anggota GAM yang ditangkap di luar Aceh, mulai dari Medan, Riau, Pekanbaru, hingga Jakarta, setelah pemerintah memberlakukan status darurat militer di Tanah Rencong. Inilah jalur dan tujuan pelarian gerilyawan anggota GAM.
+++
Sumatera Utara
MEDAN : Ini daerah tujuan favorit, karena itulah paling banyak pejabat GAM ditangkap di sini. Panglima Sagoe GAM Wilayah Pase untuk kawasan Ponggui, Aceh Utara, Mustafa Ibrahim (27 tahun), Isnandar (27), sekretaris GAM wilayah Medan, dan Nurdin (32), anggota tentara GAM, ditangkap polisi 27 Mei 2003
LANGKAT : Untuk masuk kawasan Sumatera Utara, ada dua jalur: darat dan laut.
Jalur darat ditembus dengan memasuki kawasan pegunungan Bukit Barisan, juga kawasan Taman Nasional Gunung Leuser serta perkebunan kelapa sawit di perbatasan Kabupaten Langkat dan Aceh Timur serta Aceh Tamiang. Jalur ini sering disebut “jalur pasokan ganja”.
Jalur laut umumnya menggunakan kapal nelayan. Sebelum masuk kawasan Pangkalan Susu, Pangkalan Brandan, mereka singgah di Pulau Kampai. Pulau ini pernah menjadi sarang GAM dan membuat kawasan ini pernah diserbu satuan Brimob. Kini di pulau itu ditempatkan satuan Brimob.
KARO : Kini jalur ini berbatasan dengan Kabupaten Dairi-Aceh Tenggara. Di sini Panglima Sagoe GAM Wilayah Liang Pange dan Bunbun Alas, Aceh Tenggara, M. Amin, ditangkap Batalion 122/Tombak Sakti setelah sebelumnya anak buahnya tertangkap saat menyusup dari lintas perbatasan wilayah itu.
DELI SERDANG : Polisi menangkap 10 pejabat GAM, antara lain Yahya bin Hanafiyah, Wakil Panglima GAM Wilayah Deli Serdang.
Palembang, Sumatera Selatan : Tengku Ali alias Yanto bin Marli. Tertangkap 5 Juni 2003. Ali mengaku melarikan diri melalui jalur darat bersama seorang kawannya, Amri (30) karena ketakutan.
Bengkulu : Polisi menangkap 9 pejabat GAM, antara lain Moh. Jamil bin Abdul Rahman, penasihat GAM wilayah Bengkulu, Said bin Said Syah, A.N. Nasru Alias Ayah Kumis, Darwin, Zukifli bin Alamsyah, Musa bin Jamil, Edi Junaidi bin Alamsyah, Mansyur bin Wahab, dan Asri M. Saleh.
Jonggol, Jawa Barat : Nurdin Apadin diduga pemasok amunisi GAM dari Jakarta di bawah komando langsung Panglima Tinggi GAM, Muzakir Manaf.
Riau : Pada 12 Juni, polisi menangkap tujuh anggota GAM yang melarikan diri lewat jalur laut.
Jakarta : Irwandi Yusuf alias Isnandar alias Faseh, juru propaganda GAM, ditangkap di Cipinang, Jakarta Timur, pada 23 Mei.
Batam : Terdapat 42 titik yang dinilai menjadi pintu masuk pelarian mereka. Titik itu meliputi pelabuhan-pelabuhan liar yang ada di Batam.
Pulau Phuket, Thailand : Diduga anggota GAM keluar-masuk Aceh-Pulau Phuket untuk berbelanja senjata. Di Thailand inilah mereka bertemu pembantu utama Hasan Tiro, Zakaria Zaman alias Karim Bangkok. Akhir April lalu, tim gabungan Cakra Tujuh Marinir menangkap tiga anggota GAM di wilayah laut Pantai Kreung Geugeua, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Mereka bersenjata AK-47, pistol Colt standar kepolisian, dan FN-16.
+++
Jalur Utama : Tujuan utamanya Medan. Jalur ini meliputi kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tamiang. Beberapa anggota GAM disinyalir melewati jalur ini bersama pengungsi.
Jalur Barat Sumatera : Jalurnya berawal dari Banda Aceh, Aceh Jaya, Aceh Barat, hingga Aceh Singkil. Namun, melihat intensitas konflik yang tinggi di daerah barat Aceh, jalur ini tak lagi diminati.
Jalur Udara : Peluang terbesar lewat Bandara Iskandar Muda di Banda Aceh. Umumnya mereka menempuh jalan darat dulu hingga ke Medan dan baru terbang dari Bandara Polonia ke kota-kota lain di Jawa.
Jalur Laut : Jalur ini memanfaatkan Pelabuhan Malahayati. Tapi saat ini Malahayati sudah “ditutup” rapat, sehingga kecil kemungkinan jalur ini dipakai. Trennya kini menyusup ke Medan dengan menyamar sebagai nelayan dan tinggal di rumah kerabat mereka di pantai Timur Selat Malaka hingga Tanjung Balai Asahan. Di kawasan Tanjung Tiram Asahan pernah terjadi baku tembak aparat dengan GAM.
Jalur Tikus : Jalur ini menjadi primadona karena kemungkinan lolos lebih besar. Caranya, anggota GAM menyelinap dan kabur melalui rawa-rawa yang terdapat di sepanjang pantai timur dan sebagian barat Aceh. Salah satu contoh adalah saat kontak senjata di Matang Nibong, Peureulak, Aceh Timur, 22 Mei lalu. Saat itu 11 anggota Detasemen Pemukul Baladika yang dipimpin Kapten Riyanto melintas di daerah tersebut. Tiba-tiba dia diserang oleh sekitar 100 anggota GAM. Kontak senjata pun pecah, tapi GAM bisa lolos lewat rawa-rawa ini. “Mereka kabur dengan speedboat dan sebagian dengan perahu biasa ke laut,” kata Riyanto.
Adi Prasetya, Abdul Manan (NAD), Bambang Soed (Medan)
TEMPO Edisi 030622-016/Hal. 30 Rubrik Laporan Utama
Menangkal ‘Hit and Run’ ala GAM
Setelah pertempuran di Bukit Sudan, TNI menyusun siasat baru. Mengapa GAM susah ditekuk?
PETANG menyapu perbukitan Sudan, Matang Kumbang, Bireuen, Senin pekan lalu. Angin laut menusuk sumsum, awan di bukit kian tebal. Dari balik pohon pinang, lamat-lamat terdengar suara rintihan. Letnan Dua Karno kontan bergerak mendekati arah suara. Ia terperanjat bukan kepalang melihat seorang anak buahnya tersungkur bersimbah darah. Tergesa-gesa Karno membopong tubuh besar bawahannya itu.
Tak disangka, di dekat tubuh sang prajurit itu bersembunyi seorang tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM), yang tiba-tiba melepas tembakan beruntun. Tretetet.., braak, Karno langsung roboh. Ia tewas seketika. Rupanya serdadu GAM itu terjebak di arena pertempuran dan gagal menyelamatkan diri. Ia lalu bersembunyi di sebuah lubang kecil, dekat tentara Indonesia yang tersungkur. Si GAM juga kemudian mati dihantam pelor tentara Republik lainnya.
Di sisi selatan bukit yang terletak di belahan utara Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam itu, pertempuran lebih sengit. Puluhan pasukan Indonesia berusaha merangsek ke jantung musuh. Langkah ini tergolong nekat. Sebab, di keremangan petang itu jarak pandang cuma dalam hitungan meter. Dan benar saja, rentetan tembakan menyalak dari atas bukit. Tiga tentara Indonesia tersambar peluru. Maut langsung menjemput. Perang ini baru berhenti tengah malam.
Esoknya, Selasa dini hari pekan lalu, pasukan TNI menyapu kawasan perbukitan itu. Sebagaimana luas diberitakan, lima orang GAM ditemukan tewas, termasuk seorang serdadu wanita, disebut Inong Balee dalam struktur militer GAM. Di pihak TNI sendiri tercatat tujuh tentara yang tewas dan tujuh orang lainnya luka parah (lihat boks Inong Balee, Dibakar Dendam).
Inilah pertempuran yang paling berdarah-darah. “Paling heroik dan bernilai tinggi selama perang ini,” kata Brigadir Jenderal Bambang Dharmono, Panglima Komando Operasi Militer TNI, kepada wartawan sesaat setelah evakuasi mayat pasukannya dari bukit jahanam itu. Sebuah pernyataan yang jujur sekaligus menjadi bukti bahwa militer GAM ternyata tak gampang ditekuk. Sejak berlakunya darurat militer 19 Mei lalu, pertempuran di Bukit Sudan, Bireuen, itu memang yang terbesar. Tujuh tentara yang tewas itu adalah korban terbesar di pihak Indonesia selama perang ini.
Bagi GAM, inilah keberhasilan pertama mereka, setelah sebelumnya terus-terusan dihajar TNI. Ketika dihubungi TEMPO Jumat pekan lalu, Sofyan Daud, juru bicara GAM, mengumbar kata. “Perang di Bukit Sudan itu adalah bukti bahwa di bukit-bukit dan di gunung-gunung, kami lebih unggul,” tuturnya melalui sambungan telepon satelit. Ia pun mengancam bahwa pertempuran berikutnya akan lebih dahsyat. “Catat itu,” sergahnya dengan nada garang.
Sejak awal perang ini meletus, para petinggi gerakan itu telah sesumbar bahwa satuan elite dalam tubuh GAM yang akan mendikte ihwal di mana dan kapan perang akan berlangsung. Sofyan Daud menyebut bahwa petinggi GAM telah memerintahkan satuan-satuan khusus militer gerakan itu untuk mencegat tentara Indonesia di wilayah pegunungan, bukit, dan daerah rawan lainnya.
Satuan khusus GAM? Yang habis-habisan bertempur melawan TNI di Bukit Sudan itu adalah Pasukan Singa Mate, satuan elite Angkatan Darat GAM, pimpinan Darwis Jeneib. Menurut Sofyan, Darwis adalah panglima regional–semacam Pangdam–untuk daerah Bireuen. “Darwis luput dari baku tembak itu, dan kini siap melanjutkan pertempuran,” kata Sofyan.
Dalam strukturnya, GAM memang memiliki sejumlah satuan khusus. Satuan elite angkatan darat bernama Singa Mate itu, misalnya, juga kerap disebut pasukan baret hijau, karena menggunakan topi berwarna hijau sebagai baret kesatuannya. Di angkatan laut mereka memiliki satuan khusus bernama Singa Metareng, yang juga disebut pasukan baret merah.
Para pentolan pasukan khusus itu mendapat pendidikan istimewa. Mereka lama digembleng di Tanjura, Libya. Di Negeri Muammar Qadhafi inilah ratusan pemuda Aceh pernah dilatih secara militer. Kepada TEMPO yang menemuinya di Stockholm, Swedia, beberapa waktu lalu, Hasan Tiro–Presiden GAM–dengan bangga memperdengarkan rekaman pidatonya di hadapan pasukan GAM di Tripoli, Libya, pada 1985.
Pidato Hasan disampaikan dalam bahasa Arab, Prancis, Inggris, dan Aceh. Isinya heroik dan penuh gelegar. Di situ jelas terdengar bahwa Tiro lebih menaruh harapan pada para serdadu itu untuk memerdekakan Aceh, ketimbang menuainya dari jalur diplomasi. Meski terbelah dalam pelbagai faksi, kubu Hasan Tirolah yang sangat berpengaruh bagi para serdadu dan anggota GAM.
Para serdadu itu, terutama pasukan elitenya, hampir semuanya bersenjata lengkap. Selain menenteng AK-47, mereka punya pelontar granat, juga handy talkie sebagai alat berkomunikasi. Pertempuran di Bukit Sudan, Senin pekan lalu itu, dibuka dengan gelegar serangan pelontar granat dari atas bukit ke arah truk-truk militer Indonesia yang sedang berpatroli. Begitu tentara Indonesia terumpan ke atas bukit, salakan Kalashnikov dari atas bukit langsung menyambut.
Di tengah serunya baku tembak itu, sistem komunikasi TNI berhasil menyadap lalu lintas pembicaraan para petinggi GAM. Di situ terdengar, mereka meminta bantuan pasukan dari beberapa wilayah terdekat. Pada akhir pertempuran itu, pasukan mereka terdesak lalu mengambil langkah seribu ke balik bukit yang dirimbuni belukar. Selamat.
Memasuki pekan keempat dalam perang ini, boleh dibilang pasukan Indonesia berada di atas angin. Data yang dilansir TNI menyebutkan, hingga pekan lalu, 172 GAM tewas ditembak, 111 ditangkap, dan 144 menyerah. Walau petinggi GAM mengklaim bahwa korban umumnya warga sipil, fakta di lapangan terlihat bahwa tentara mereka terdesak hampir di semua wilayah. Satuan-satuan elite GAM itu kini menyingkir ke perbukitan, ke gunung, juga ke rawa-rawa.
Selain di kawasan Bukit Sudan, pasukan GAM juga menyingkir ke kawasan Gunung Leuser dan di belantara Mampree, Gunung Patisah, Kabupaten Pidie. Hutan Mampree itu menyimpan heroisme dalam sejarah perjuangan gerakan ini. Di situlah, dulu, akhir tahun 1970-an, Hasan Tiro, sang Wali Nanggroe, yang kini menetap dan menjadi warga negara Swedia, bergerilya sebelum akhirnya hengkang ke negeri seberang.
Selain ke gunung-gunung, tentara GAM juga menyingkir ke sejumlah daerah rawa-rawa jika dijepit musuh. Juru bicara GAM, Sofyan Daud, misalnya, diduga berada di daerah Jambo Aye, Panton Labu, Aceh Utara. Kawasan ini disebut-sebut amat dicintai oleh pasukan Sofyan. Sebab, jika terdesak musuh, mereka bisa menyelinap ke rawa-rawa yang cukup luas (lihat Jalur Maut GAM).
Tak mengherankan jika konsentrasi TNI mengarah ke kawasan rawan itu. Dua pekan lalu, Pasukan Cakra dan Satgas Mobil Satu dari TNI mengurung ketat selama tiga hari. Salakan peluru bersahut-sahutan. Panglima Komando Operasi Militer, Brigadir Jenderal Bambang Dharmono, yang ikut mengawasi jalannya pengepungan itu, bilang, “Kami mengintensifkan operasi ini sampai titik di mana konsentrasi mereka berada. Kami datang, lalu kami hancurkan.”
Tapi hingga akhir pengepungan itu, Sofyan seperti raib. Loloskah juru propaganda yang juga Panglima GAM Wilayah Pase ini? Sofyan mengaku bahwa jaringan intel mereka sudah mencium adanya persiapan besar-besaran untuk mengurung kawasan ini. Itu sebabnya, “Saya sudah meloloskan diri ke daerah rawa-rawa sesaat sebelum dikepung,” katanya sembari tertawa.
Daerah rawa-rawa memang menjadi kawasan paling nyaman bagi tentara GAM untuk kabur. Di Aceh Timur, misalnya, kawasan rawa-rawa Matang Ibong, Peurlak, adalah surga bagi anggota GAM untuk menyelamatkan diri. Di sini tentara mereka gemar menggunakan siasat hit and run. Melesat keluar menyerang lawan, menyelinap ke rawa-rawa jika musuh balik merangsek, lalu menyerang lagi kalau musuh sedang lengah, dan begitu seterusnya.
Siasat itulah yang mereka lakukan ketika anggota TNI dari Detasemen Pemukul Baladika, pimpinan Kapten Riyanto, melintas di Peurlak, dua pekan lalu. Mereka mendadak diberondong oleh puluhan tentara GAM. Desingan peluru bersahut-sahutan memecah keheningan kampung kecil itu. Tiga GAM tewas di situ. Merasa dijepit kiri-kanan, puluhan gerakan separatis bersenjata lainnya kabur ke rawa-rawa. Sisanya ngacir menggunakan speedboat lewat sungai. “Mereka tak terkejar dan lolos,” kata Riyanto.
Rute lolos lainnya juga disiapkan. Mereka kabur ke kota-kota lain di kawasan Sumatera dalam tiga pekan terakhir ini. Aparat kepolisian di Aceh sudah mencium adanya rencana melarikan diri itu. Dan itu sebabnya, kepolisian menem-patkan sejumlah personel di sejumlah pelabuhan laut dan jalur-jalur keluar di seantero Aceh. Tugas para polisi adalah memelototi setiap orang yang
keluar melewati pelabuhan. Bila mencurigakan, tangkap.
Di samping menjaga pelabuhan, aparat kepolisian juga melakukan razia KTP di jalan-jalan. Memang, hingga sekarang pihak kepolisian Aceh belum menangkap seorang pun selama pemeriksaan di jalan-jalan itu. “Tapi paling tidak kita sudah menutup jalur-jalur keluar itu,” kata Ajun Komisaris Besar Polisi Sayed Husaini, juru bicara Polda Aceh. “Jika tidak disisir sekarang, setelah enam bulan masa darurat militer ini, mereka bisa eksis lagi,” kata Bambang Dharmono.
Dengan pengawalan ketat seperti itu, diharapkan GAM akan terkurung terus di Aceh, hingga bisa ditekuk oleh tentara Indonesia. Tapi sejumlah anggota GAM lolos juga ke luar Aceh. Kamis pekan lalu, misalnya, polisi Riau menangkap tujuh anggota yang kabur ke wilayah itu. Ketujuh orang itu, kata polisi, adalah tentara aktif GAM di wilayah Pidie. Mereka juga terciduk di Pekanbaru. Di Medan, dua pekan lalu, polisi sukses mencokok Mustafa Ibrahim, Panglima Sagoe–setingkat Komandan Rayon Militer dalam TNI–GAM Wilayah Panggoi, Aceh Utara.
Bagaimana mereka bisa lolos dari intaian aparat di Aceh? Menurut Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar, pasukan GAM yang kabur itu tidak melewati jalur-jalur umum sebagaimana masyarakat biasa, tetapi melalui “jalan tikus”. Dengan cara inilah mereka menyusup keluar perbatasan Aceh dan menetap di sejumlah kota kecil di kawasan Sumatera–setelah menukar identitasnya.
Siasat ganti identitas itu juga dilakukan di sejumlah kabupaten di Aceh. Jika posisi mereka kian terjepit, para gerilyawan yang juga mengenakan seragam loreng mirip tentara Indonesia itu akan segera melepas busana perang itu dan berganti pakaian biasa. Mereka lalu hidup normal dan luwes membaur di tengah masyarakat. Senjata-senjata dikuburkan di tanah, untuk sewaktu-waktu digunakan lagi.
Taktik GAM itu cukup menyulitkan tentara Indonesia. Sebab, bila para pemuda yang menyaru itu ditembak, GAM dengan enteng mengklaim bahwa pasukan Indonesia salah sasar, warga sipil ditembak mati. “Padahal,” kata sumber yang merupakan petinggi TNI ini, “para penyamar itu amat berbahaya, karena mereka sendiri memiliki senjata.”
Sebab itu, belakangan ini TNI di Aceh aktif menyisir sejumlah kawasan yang diduga sebagai tempat penguburan senjata. Lokasinya diduga ada di rawa-rawa dan wilayah perbukitan. Lubang kecil, tempat Letnan Dua Karno tertembak di Bukit Sudan itu, termasuk dicurigai sebagai tempat penguburan sejumlah senjata milik GAM. Lubang seperti itu banyak ditemukan di lereng bukit tersebut.
Setelah pertempuran itu, pekan-pekan ini para petinggi sibuk mengubah taktik perang. “Kalau musuh mengubah-ubah strategi, kita pun harus menangkalnya dengan bermacam-macam strategi,” kata Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Ryamizard Ryacudu, kepada wartawan di Lhokseumawe, Aceh, Rabu pekan lalu. Tapi Sofyan Daud tak mau kalah. “Kami akan menyajikan banyak kejutan dalam perang ini.”
Saling gertak, saling ancam, lalu korban berjatuhan di seantero negeri, juga di Bukit Sudan. Kepedihan ini akan terpendam sepanjang hayat.
Wenselaus Manggut, Abdul Manan, Yuswardi ( Banda Aceh) Zainal Bakri (Lhokseumawe)
TEMPO Edisi 030622-016/Hal. 26 Rubrik Laporan Utama



1 komentar: