YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Sabtu, 03 November 2012

Kiat Menghidupi Kampus

Sabtu, 23 Mei 2009

Subsidi pendidikan pemerintah terlalu pas-pasan, sehingga kampus
negeri mencari tambahan dana dengan membuka kelas sore. Hasilnya cukup
untuk menyambung hidup.

--------------------------------------------------------------------------------
DI banyak negara, pos anggaran untuk pendidikan bisa mencapai 10
persen dari total anggaran pemerintah. Tapi di Indonesia, bahkan
ketika ekonomi masih normal, anggaran pendidikan tak sampai 2,5
persen, atau sekitar Rp 5,5 triliun, dari anggaran pendapatan dan
belanja negara.
Padahal, jatah anggaran itu mesti dibagi-bagikan kepada sekitar 500
ribu sekolah dan 51 perguruan tinggi negeri. Jumlah yang terbatas itu
dipakai untuk pembayaran gaji guru dan dosen, pemeliharaan bangunan,
pembangunan kelas-kelas baru, serta untuk biaya operasi harian,
seperti pengadaan kertas kerja atau bahan praktikum.

Dalam pada itu, biaya pengelolaan perguruan tinggi negeri, misalnya,
semakin lama semakin besar. Sebaliknya, subsidi anggaran dari
pemerintah semakin tak mencukupi kebutuhan.

Itu sebabnya pemerintah memperkenankan para pengelola kampus negeri
untuk menyelenggarakan program pendidikan di luar program reguler.
Program ekstra itu bisa berupa kelas ekstensi (sore), baik untuk
program diploma-3 (D-3), strata-1 (S-1, sarjana), maupun strata-2
(S-2, master).

Bagai gayung bersambut, keran otonomi anggaran itu langsung
dimanfaatkan kampus negeri. Universitas Indonesia (UI), contohnya,
merintis bisnis dengan membuka berbagai kelas sore. Untuk program D-3
saja, fakultas sastra serta fakultas ilmu sosial dan ilmu politik
(FISIP) telah melahirkan 16 program studi.

Lantas, untuk program S-1, UI membukanya di fakultas teknik, hukum,
ekonomi, psikologi, dan FISIP. Masih ada lagi program S-2 berupa
spesialisasi ilmu kedokteran dan ilmu hukum, plus magister manajemen
(MM), yang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP)-nya sekitar Rp 30
juta.

Dari situlah UI bisa menutup dana sebesar Rp 49,9 miliar dari total
pengeluarannya yang Rp 105,8 miliar setahun. Untuk menutupi sisa
biaya, tentu saja UI masih mengharapkan subsidi pemerintah.

Langkah serupa dilakoni Institut Pertanian Bogor (IPB). Program D-3,
belakangan juga program MM, diakui oleh Pembantu Rektor II IPB Dr.
Bunasor Sanim sebagai tambang uang bagi universitas negeri yang
berusia lanjut itu.

IPB bahkan juga mengepakkan sayap bisnis di luar pendidikan, seperti
usaha warung telekomunikasi, fotokopi, percetakan, serta usaha jasa
konsultasi peternakan dan pertanian.

Di luar itu, masih ada lagi bisnis kerja sama IPB dengan pihak swasta.
Pertama, proyek agrobisnis perkebunan mangga senilai Rp 78 miliar
bersama Grup Bakrie. Kedua, kerja sama dengan perusahaan properti
untuk memanfaatkan lahan tak produktif di Rancamaya, Bogor.

Dari bisnis itu, IPB mencetak pemasukan Rp 26,1 miliar. Bagi
pemerintah, angka itu cukup lumayan. Sebab, dengan total pengeluaran
IPB sebesar Rp 51 miliar, subsidi pemerintah tinggal Rp 24,9 miliar.

Institut Teknologi Bandung (ITB) malah bisa menutup sekitar Rp 80
miliar dari total pengeluarannya tahun lalu, yang mencapai Rp 105
miliar. Pemasukan itu diperoleh ITB dari uang pendidikan D-3 sampai
MM, plus bisnis lain seperti penjualan hasil penelitian.

Di Yogyakarta dan Medan, kampus negeri juga mengupayakan kiat serupa.
Sementara Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogya menempuh bisnis di
jalur pendidikan, Universitas Sumatra Utara (USU) di Medan menggarap
bisnis perkebunan.

Memang, total dana dari aneka bisnis tadi masih belum mungkin menutupi
total pengeluaran kampus. Lagi pula perguruan tinggi negeri tak
mungkin bebas dari subsidi pemerintah. Urusan gaji pegawai dan dosen,
umpamanya, seperti dikatakan Rektor UGM Prof. Ichlasul Amal, tetap
menjadi tanggung jawab pemerintah.

Persoalannya tinggal lagi manajemen bisnis pendidikan nonreguler.
Jangan sampai terjadi "perburuan" dana sebesar-besarnya, sementara
mutu dan manajemen pendidikannya telantar. Sebab, selama ini, gelar
dan logo kampus negeri bukanlah barang asal-asalan alias tidak untuk
diperjualbelikan.

Ma’ruf Samudra, Dewi Rina Cahyani (Jakarta), dan Bambang Soedjiartono
(Medan)


Sumber: Tempo On-Line

Tidak ada komentar:

Posting Komentar