YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Sabtu, 03 November 2012

Ketika Tentara Harus Memilih - Tempo

NO. 05/XXVIII/6 - 12 Apr 1999 Sipilisasi ABRI


Sekitar 4.000 anggota ABRI harus memilih: tetap berbaju hijau, menjadi
PNS, atau menjadi sipil. Upaya Wiranto mengurangi kritik terhadap
dwifungsi?
_________________________________________________________________

LETJEN A.M. Hendropriyono benar-benar militer tulen. Jika harus
memilih, perwira aktif bintang tiga yang dikaryakan sebagai Menteri
Transmigrasi itu masih ingin terus memakai seragam tentara, walau
karirnya hanya tersisa setahun. Hendropriyono dan sekitar 4.000
perwira pada 1 April ini memang sudah harus memilih: tetap memakai
seragam militer atau memilih menjadi orang sipil. Itulah perintah
terbaru Panglima ABRI Jenderal Wiranto yang mendapat perhatian luas.
Ketika pilihan itu disodorkan kepada Hendro, bekas Panglima Kodam Jaya
itu berujar mantap, "Kalau disuruh pilih, saya akan kembali ke
ABRI. Saya kan enggak minta jadi menteri." Sampai pekan lalu,
Hendro belum pernah dikontak untuk menentukan pilihannya.

Kebijakan pensiun massal itu diberlakukan untuk semua perwira ABRI
yang dikaryakan pada jabatan sipil. Jenderal Wiranto sesungguhnya
meneruskan gagasan Presiden B.J. Habibie, yang pernah menyampaikan
"Pokok-Pokok Pikiran Reformasi ABRI" pertengahan tahun lalu. Maksudnya
jelas, mengembalikan citra baik ABRI yang selama ini banyak dikecam
karena konsep dwifungsi dinilai terlalu banyak ikut campur dalam
kehidupan sipil. ABRI sendiri sudah berkali-kali menegaskan sikap
untuk berdiri netral di atas semua golongan, misalnya dalam pemilu
mendatang ini. Ini jelas jawaban dari gelombang kritik yang datang
bertubi-tubi terhadap langkah ABRI dalam pentas politik Indonesia.
Sikap ABRI yang bertahun-tahun hanya mendukung Golkar, saat ini, diuji
kembali.

Awal April ini, para perwira kekaryaan-kecuali anggota ABRI di DPR dan
DPRD yang dianggap tetap dalam dinas aktif-harus mengembalikan
formulir pilihan yang sudah dibagikan tiga bulan lalu. Ternyata, itu
bukan hal mudah bagi para prajurit yang biasa mendapat perintah atasan
itu. Awal Februari lalu, dari 1.048 prajurit di Markas Besar (Mabes)
ABRI dan Kepolisian, baru 49 persen yang sudah menentukan sikap.
Sebagian besar (354 orang) memilih tetap di jabatan sipilnya-artinya,
mereka harus pensiun sebagai prajurit. Hanya sedikit yang memilih alih
status sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan lebih sedikit lagi yang
mau bertahan di dinas militer.

Mereka tampaknya bersikap pragmatis sehingga memilih pensiun ketika
disodori pilihan itu. Dengar saja alasan Wali Kota Bandung Kolonel Aa
Tarmana. "Kita tidak tahu hasil pemilu mendatang. Siapa tahu nanti
ABRI sudah tak diinginkan rakyat. Terus saya mau ngapain?" ujarnya
kepada Rinny Srihartini dari TEMPO.

Walau banyak yang ingin menjadi sipil, rencana pensiun massal ini
bukannya tanpa hambatan. Pekerjaan besar itu, yang menurut rencana
akan dimulai saat serah terima Panglima Daerah Militer (Pangdam)
Diponegoro, pertengahan Januari lalu, terpaksa ditunda karena banyak
protes dari tentara yang dikaryakan. Mengapa? Selama ini, kekaryaan
masih dijadikan kartu truf para perwira untuk mencari "tambahan"
ketika memasuki usia pensiun atau ketika menunggu jabatan yang lebih
tinggi.

Cuma, seperti laiknya prajurit, protes itu tak banyak terdengar ke
luar. "Mereka pada takut aja untuk menyanggah," ujar Hendropriyono,
salah seorang perwira yang berani menunjukkan sikap. Sikap keras
Hendro ini memang beralasan. Bila ia kembali ke ABRI, masih terbuka
peluangnya untuk memegang tongkat komando sebagai Panglima ABRI, yang
"nyaris" digenggamnya ketika Presiden Habibie menyusun kabinet.
Kabarnya, hanya beberapa saat sebelum pelantikan, pencantuman nama
Hendro sebagai Panglima ABRI dibatalkan.

Kesan politis di balik pensiun massal ini tak terhindarkan dengan
"penolakan" Hendro dan mungkin yang lainnya. Ada kesan bahwa Jenderal
Wiranto-yang sampai kini terus merangkap jabatan sebagai Menteri
Pertahanan Keamanan-tengah "membuat barikade" untuk jenderal bintang
tiga yang masih punya kans untuk melesat ke atas. Di kabinet, yang
masih militer aktif adalah Jaksa Agung A.M. Ghalib, Menteri Penerangan
M. Yunus, dan Menteri Transmigrasi Hendropriyono. Dari ketiga calon
itu, hanya Hendro-lah yang dari segi usia berperluang naik. Benarkah
kesan tersebut? Jelas tidak, ujar Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen)
ABRI Mayjen Syamsul Ma'arif.

Apa pun kesan yang timbul, ABRI sudah menetapkan langkah untuk
melaksanakan kerja besar ini. Sebuah upaya pengumpulan data dari
sekian ribu prajurit yang dikaryakan di seluruh Indonesia-sebagai
lurah, camat, bupati, sekretaris wilayah daerah, gubernur, hingga
petinggi di departemen-kini dilakukan. Dari perhitungan kasar, perwira
ABRI yang menjabat sebagai menteri tercatat empat orang (dari 21
departemen), lalu ada sepuluh yang menjabat gubernur (dari 27
gubernur), dan 128 orang menjadi wali kota atau bupati (dari 306 pos
itu).

Untuk itu, diperlukan beberapa syarat untuk menetapkan pensiunnya
seorang prajurit, seperti data penelitian khusus dan persetujuan
atasan. "Kesulitan makin bertambah karena ada anggota yang sudah
mengirim data minta pensiun, tapi belakangan ia menelepon untuk
membatalkannya," kata seorang sumber yang mengurus masalah tersebut.
Sikap ragu-ragu ini umumnya dilakukan oleh prajurit muda yang masa
dinasnya masih panjang. Jelas saja, bila mereka memilih pensiun,
tunjangan pensiun yang didapat akan sesuai dengan pangkatnya yang
terakhir. Namun, bila ia kembali ke kesatuannya, belum tentu akan
segera mendapat jabatan.

Itu kerugian yang didapat seorang prajurit dari segi jenjang karir.
Dalam hal penghasilan, sebenarnya mereka tak mengalami kerugian.
Seorang anggota ABRI yang dikaryakan, ujar Kapuspen Syamsul Ma'arif,
sedang melakukan pengabdian dan itu berarti mereka hanya dibayar oleh
Mabes ABRI sesuai dengan pangkat terakhirnya. "Jadi, mereka enggak
dibayar dobel," katanya. Namun, mereka bisa mendapatkan tambahan
penghasilan dari tunjangan jabatan. Ambil contoh Kolonel (Mar.)
Soebagio, Wali Kota Jakarta Utara. Sejak dilantik Oktober lalu, ia
tetap menerima gaji sebagai kolonel sebesar Rp 800 ribu. Namun, ia
masih mendapat tambahan pemasukan dari tunjangan jabatan wali kota
sebesar Rp 1-1,25 juta, selain fasilitas jabatan seperti rumah dan
mobil dinas.

Kalau ia pensiun, tiap bulannya Soebagio hanya menerima 70 persen dari
gajinya sekarang. Tapi, bila ia memilih menjadi PNS, pangkat
kolonelnya akan disetarakan, yang diduganya setara dengan golongan
IV-C. Gaji untuk golongan ini tak berbeda dengan gajinya semula, Rp
800 ribu. Tak adanya perbedaan ini dimungkinkan karena aturan pangkat
dan besarnya pendapatan antara ABRI dan PNS sama.

Soal tak adanya perbedaaan ini dibenarkan oleh Gubernur Sumatra Utara
Mayjen Rizal Nurdin. Menurut mantan Pangdam I/Bukit Barisan ini,
ketika terpilih menjadi gubernur, ia boleh memilih gaji sebagai
gubernur atau ABRI. "Dan saya lebih memilih gaji mayjen yang lebih
kecil," ujar perwira berusia 51 tahun ini kepada Bambang Soedjiartono
dari TEMPO.

Seperti Soebagio dan Rizal Nurdin, Bupati Kudus Kolonel Amin Munadjat
sudah memantapkan diri untuk memilih jalur kepegawaian sipil. Padahal,
dengan usianya yang masih 49 tahun, sebenarnya masih terbuka
kemungkinan baginya untuk mendaki karir militer. Baginya, kursi bupati
yang sudah didudukinya sejak delapan bulan lalu dianggapnya sebagai
bukti kepercayaan masyarakat yang harus dijaganya.

Dengan keluarnya mereka dari jajaran Mabes ABRI, putus juga jalur
komando. "Sehingga tidak ada dobel komando," kata Letkol Sugeng
Suryanto, Kapendam IV/Diponegoro. Semua masalah kini harus mereka
hadapi dengan cara yang berbeda. "Ketika saya menjadi wali kota, saya
harus menghadapi kerusuhan, penjarahan, demo mahasiswa dengan cara
persuasif. Beda dengan saat saya berdinas di marinir, yang dengan
mudah saya hadapi dengan seragam, perlengkapan, dan pengawal," cerita
Wali Kota Soebagio.

Pensiun massal ini meredakan kritik tentang fungsi kedua ABRI?
Nyatanya tidak. Masyarakat yang diwakilkan oleh anggota-anggota DPRD
DKI tak setuju bila kekaryaan dihapus sama sekali di Pemda DKI. Yang
baik, kata mereka, dilakukan pengurangan personel ABRI secara rasional
dan obyektif. Ketidaksetujuan anggota FPP Achmad Suaidy, misalnya,
karena ia menganggap ada instansi atau bagian tertentu yang memerlukan
penanganan secara komando atau membutuhkan "pengetahuan" kemiliteran,
sehingga jabatan itu lebih mudah dipegang oleh perwira ABRI. Jabatan
Wali Kota Jakarta Utara, umpamanya, harus diisi oleh mereka yang
mengerti seluk-beluk kemaritiman karena wilayahnya sebagian besar
laut.

Memang sulit memuaskan keinginan semua orang.

Diah P., Arif A.Kuswardono, Iwan Setiawan, Bandelan Amarudin
_________________________________________________________________

Pejabat Sipil dari ABRI aktif
Kementerian: 121 Departemen 4 Menteri
2 Sekjen
5 Dirjen
5 Irjen
2 Jabatandirangkap Menhankam Pangab
Kepala Daerah/Gubernur (27 Propinsi) 10 Gubernur dijabat ABRI
Walikota/Bupati Dati II (300 Jabatan) 128 Walikota/Bupati dijabat ABRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar