YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Sabtu, 03 November 2012

Ketika Kita Lupa Berterimakasih !


Oleh : Bambang Soedjiartono

Menarik sekali pemberitaan berbagai media cetak dan elektronik dalam ragam kasus yang terjadi di belahan Indonesia. Hampir semua pemberitaan menyangkut kinerja aparat, baik aparat hukum mau pun elit politik yang saat ini mempersiapkan upaya hajat untuk maju sebagai kandidat Presiden RI. Mulai kasus kriminal, hukum dan politik semua bermuara kepada orasi dan publikasi akan jasa aktivitas dan jasa telah melakukan kinerja tugas dengan baik. Melakukan ‘blow up’ seakan semua kinerja telah berhasil baik, dan kecewa ketika rakyat lupa berterimakasih

Saya ingin mengajak semua pihak untuk merenungkan apa yang seharusnya dan selayaknya orang mengucapkan terimakasih, dan yang mana sejatinya harus berterimakasih. Inilah sekarang yang terabaikan dan diharapkan, selama kaum elit dan penguasa mempermainkan bahasa untuk pencapaian tujuannya dalam bercita-cita. Mereka umumnya cenderung bersifat narsis, seolah-olah sudah melakukan yang terbaik untuk negara Republik Indonesia dan berharap banyak kepada rakyat.

Apalagi momen ini dapat dimanfaatkan dengan memantau kondisi kalau bangsa Indonesia umumnya selalu atau bahkan sering melupakan semua apa yang menjadi perbuatan negatif atau buruk yang telah dilakukan oknum tertentu, figur publik atau pun tokoh. Sebagai bangsa pemaaf, hal ini menjadikan komoditi pihak tertentu untuk melakukan manuver politik untuk tujuan tertentunya. Memang kata “maaf” merupakan kata yang sangat ampuh untuk mengeliminir sesuatu yang salah atau yang tidak lazim atau tidak wajar dilakukan.

Mungkin untuk kita renungkan bersama, saya akan uraikan beberapa pemberitaan yang menjadi muatan media massa (termasuk harian Analisa) atas berbagai kasus yang terjadi dari berbagai pelosok negeri kita Indonesia. Kejadian-kejadian dan orasi tokoh menjadi perenungan kita bersama. Apakah memang benar rakyat Indonesia lupa berterimakasih kepada penguasa atau pemimpin bangsa ini. Atau penguasa dan pemimpinlah yang lupa kalau slogan, “dari rakyat, untuk rakyat” masih tetap berlaku.

Masih ingat ketika Jusuf Kalla mengungkapkan alasan maju sebagai presiden? Dihadapan audien dirumahnya di Makasar, Sulawesi Selatan, ia menyatakan kalau banyak orang lupa sama jasanya dan Golkar. Diungkapkannya kalau apa yang diperbuat selama menjabat wapres merupakan ide terobosannya. “Orang lupa berterimakasih sama Golkar dan saya dengan apa yang sudah diperbuat,”katanya serius.

Lain hal lagi ketika Ketua KPK, Antasari Azhar ditahan polisi. Orang juga lupa akan jasanya dalam membanteras korupsi dan fokus kepada dugaan sebagai tindakan aktor intelektual dalam kasus terbunuhnya Nasrudin Zulkarnain. Berapa pun yang sudah dimasukkannya ke bui, tapi sirna diterpa angin isu nyata pembunuhan tingkat tinggi. Semua hilang akan jasa-jasanya, apalagi ucapan terimakasih pun menjadi terlupakan dan akan sia-sia semua yang telah dilakukannya sebagai kewajiban utama.

Terakhir di Medan, saat pertemuan antara buruh dengan Ketua Peradilan Hubungan Industri Pancasila (Pengadilan Perselisihan Perburuhan) di Medan. Saat itu, buruh mengungkapkan kalau hakim merangkap kerja sebagai konsultan perusahaan, kepala urusan SDM dan membela perusahaan. Terungkapnya ini membuat terkejut sang ketua pengadilan negeri Medan. Namun, tak satu pun kata ‘terimakasih’ dan ‘maaf’, tapi hanya sepatah kata akan menindak lanjuti tanpa komitmen yang jelas.

Tiga uraian diatas adalah fakta riil dari kenyataan kehidupan sehari-hari, kenapa kita dikatakan selalu lupa mengucapkan terimakasih atas jasa dan upaya orang dalam melaksanakan kewajibannya. Ini hanya sekedar mengingatkan kalau kita juga sebagai bangsa pemaaf yang senantiasa memaafkan, walau bagaimanapun besar kesalahan orang. Tapi kita juga gampang mengucapkan terimakasih kepada orang yang jangan kan banyak, sedikit saja berjasa ungkapan terimakasih pun meluap diberikan kepada orang.

Namun yang terlupakan, pada umumnya, manakala orang mengalami kesusahan atau pun butuh pertolongan akan memunculkan sifat ego dan narsis kalau dirinya merasa pernah berjasa kepada publik dan harus mengungkapkan untuk tujuan tertentu dalam pencapaiannya. Tentu saja, apa yang diucapkan Jusuf Kalla, kejadian kasus Antasari Azhar dan kasus hakim kerja ganda merupakan ungkapan hati agar semua tidak lupa mengucapkan terimakasih atas semua upaya dan jasa yang pernah diperbuat.

Nah, sebagai kesimpulannya, apakah memang betul kita bangsa yang gampang lupa berterimakasih kepada setiap orang berjasa atau orang yang berbuat baik. Tapi bagaimanapun, kita harus menyikapi secara jernih kalau elit politik kita dan tokoh yang jadi figur publik sangat membutuhkan ucapan terimakasih dari rakyatnya. Apalagi saat menjelang pilpres ini, mari kita budayakan kembali ucapan terimakasih kepada siapa saja yang sudah berbuat. Paling tidak ini bisa menggembirakan semua pihak, tentu juga Pak Jusuf Kalla.

Alhasil, yang tercipta dari ketidaklupaan berucap terimakasih akan mempertebal budaya malu kita. Selama ini budaya malu kita hanya menjadi retorika kehidupan yang kontradiksi dengan kekerasan hidup. Dan setidaknya, kebiasaan meminta maaf, terbiasa melakukan ucapan terimakasih masih relevan untuk kehidupan dalam menyikapi budaya malu. Ini akan membuat tujuan kita membanteras kejahatan, utamanya pidana korupsi bisa tereliminir minimal. Setidaknya ucapan Jusuf Kalla, ada benarnya, tapi yang terpenting adalah bagaimana ini menjadi keikhlasan kita bukan karena tekanan makna ucapan. Terimakasih.

Medan, 08 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar