YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 04 November 2012

KPK Harus Bangun Penjara Tersadis Lebih Dari Guantanamo

Seseorang kadangkala harus melampaui batas demi membela kepentingan Negara. Bila diperlukan harus  menabrak hukum  demi penegakan hukum dan keamanan Negara. KPK harus menjadi lembaga Negara yang kuat dan disegani, mandiri dan independen. Tujuannya untuk terciptanya Negara yang bebas korupsi dan bebas dari kejahatan korporasi.

Korupsi bagai kuman yang telah menggerogoti tubuh Negara Indonesia, dimana kebuasan koruptor bagai gangster dan mafia yang sudah merasuk ke seluruh aspek kehidupan. Seperti film Kingkong yang terlena dengan kecantikan, tahta, harta dan wanita

Kalau saya jadi Ketua KPK harus dua periode agar tuntas semua program membanteras si King Kong ..eh..  si KORUPTOR. Tentu sinerginya adalah pembenahan internal di KPK secepatnya, konsolidasi  target niat dan persepsi yang sama, “BASMI KORUPTOR”.

Saya akan bangun institut  khusus penyidik, penuntut dan intelijen KPK yang akan melahirkan tenaga professional yang bermoral, konsisten, dan independen. Dengan jaminan emolument, remunasi dan karir yang pasti. Sebagai eksekutor, saya akan buat penjara khusus Koruptor yang terseram dan terkejam di dunia. Lebih sadis dari penjara mana pun di dunia, semisal Guantanamo.
KPK tak perlu meminta hukuman mati, karena KPK harus “menyiksa dan mendera” Koruptor di penjara khusus KPK.

Bersama  stake holder  mengajukan revisi UU KPK untuk penguatan KPK yang permanen dan tidak lagi ad hoc.  Meminta politisi (DPR) harus bersih saat disumpah sebagai wakil rakyat wajib membongkar sedikitnya lima kasus korupsi dalam masa baktinya.KPK melakukan penguatan jaringan internal dan eksternal secara stelsel sebagai kontra intelijen. Karena yang dilawan adalah kejahatan kerah putih dan siluman.

04 Nopember 2012
Bambang Soedjiartono

http://lombablogkpk.tempo.co/index/tanggal/486/R.%20BAMBANG%20SOEDJIARTONO.html

Sabtu, 03 November 2012

PREMAN DISINI PREMAN DISANA

Kelompok preman juga meruyak di berbagai kota besar. Mereka membagi wilayah kekuasaannya, tak ubahnya seperti memotong-motong kue. Siapa mereka dan bisnis apa yang digarap kaum preman? Bagaimana hubungan mereka dengan penguasa keamanan resmi? Inilah jepretan di beberapa tempat.

# MEDAN
Kalau ada bisnis yang mampu mencirikan, sekaligus menghidupkan kota Medan, barangkali itu perjudian dan bisnis sektor hiburan. Betapa tidak. Cobalah Anda berjalan-jalan di kawasan Petisah yang acap dijuluki sebagai kota yang tak pernah mati. Kegiatan bisnis pada pagi, siang, sore, malam, hingga dini hari berjalan amat dinamis. Pada pagi hari sampai sore, kawasan Petisah, misalnya di Jalan Nibung Raya, diwarnai bisnis jual-beli mobil bekas, perparkiran, penitipan, dan pencucian mobil. Namun, begitu malam tiba, kawasan ini berubah menjadi pusat kegiatan hiburan, usaha makanan, bahkan pelacuran dan perjudian.

Wajarlah jika banyak orang mengais rezeki di tempat itu. Dan, kaum preman adalah kelompok yang pasti menempati pos terdepan. Mereka secara umum dibagi berdasarkan pekerjaan, wilayah, skill (ketrampilan), serta sejarah eksistensinya. Jadi, ada yang menguasai lahan parkir, juga ada yang “memegang” toko, restoran, lapak, kaki lima. Bahkan, tempat mesum dan rumah judi.

Dari sektor parkir saja, seorang preman bisa memperoleh setoran rutin antara Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu per hari. Dari penghasilan itu, mereka menyisihkan sekian persen rezekinya untuk oknum keamanan di tingkat polsek. “Kami harus bagi-bagilah itu dengan mereka,” tutur seorang tokoh preman yang dikenal di kawasan Simpanglimun.
Dewasa ini, ada dua organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) yang populer di kalangan kaum preman, yaitu Pemuda Pancasila (PP) dan Ikatan Pemuda Karya (IPK) pimpinan Olo Panggabean. Di berbagai pusat keramaian dan hiburan Kota Medan, selalu saja ada preman anggota PP atau IPK yang bertindak sebagai koordinator di lapangan. Untuk itu, tentu ada upah menarik yang mereka peroleh.

“Biasanya pihak pengusaha itu mengundang kami untuk mengamankan usahanya. Kalau kerja kami bagus, kami bisa memperoleh honor bulanan. Untuk daruratnya saja, kalau rajin, Rp 100 ribu per hari itu enggak ke mana. Tapi, kalau tiap hari datang, malulah. Mau ditaruh di mana muka ini?” kata Iwan Lubis. Pria bertampang sangar dan berambut gondrong itu tak lain seorang pengurus Pemuda Pancasila wilayah pusat bisnis Kota Medan. Menurut sejumlah pengusaha, rata-rata harga keamanan bulanan dari pengusaha berkisar antara Rp 75 ribu sampai Rp 100 ribu untuk tiap OKP.

Namun, urusan bagi-bagi rezeki itu terkadang memunculkan persoalan di antara “penguasa keamanan” itu sendiri. Yang masih segar dalam ingatan warga Medan, ketika terjadi pertarungan bersenjata antara Serka Marlon yang polisi dan sejumlah oknum tentara bersenjata sangkur.

# SURABAYA
Pasca-penembakan misterius 1983-1984, geng pada bubar di kota ini. Kini yang banyak “memegang” adalah kelompok Madura. Ada dua pentolan mereka yang sering disebut-sebut, yaitu Pak Wi dan Mbah Nari. Mereka bergerak di bidang perparkiran, pasar, dan jasa pengamanan. Namun, untuk sektor menengah atas seperti diskotek, tempat hiburan lain, dan pusat pertokoan yang berjaya adalah Pemuda Pancasila.

* Stasiun Wonokromo
Ketika malam datang, kawasan ini berubah semarak. Musik dangdut mengalun dari berbagai sudut. Lelaki dan perempuan tumplak dalam kegiatan judi campur pelacuran. Setiap hari, aneka jenis judi memang tersedia di sini. Mulai dari kelas receh seperti gaple sampai cap jie kie yang bernilai jutaan rupiah. Semua itu berjalan aman berkat kepiawaian seorang kepala keamanan ternama di sana. Lelaki itulah yang bertugas menjaga wilayah stasiun dari gangguan orang luar, termasuk meladeni razia atau sekadar kontrol situasi keamanan dari aparat resmi.

* Terminal Bungurasih
Sekelompok preman sudah tinggal di Terminal Bungurasih, jauh sebelum tempat itu dibangun pada tahun 1990. Di sana pernah lahir seorang tokoh preman terkenal bernama Mat Oyik. Ia kini menjadi pengusaha dan mengorganisasi pedagang asongan. Belakangan, aparat keamanan getol menyatroni, gara-gara wilayah tersebut menjadi tempat perdagangan ekstasi dan putauw, di samping makin seringnya aksi kejahatan penodongan.

* Pelabuhan Tanjungperak
Dua tindak kejahatan yang sering terjadi di wilayah pelabuhan adalah pemerasan dan perampokan. Itu belum termasuk penjambretan, penodongan, perampasan, dan penipuan. Sederet tempat yang menjadi langganan aksi pemerasan dan perampokan, misalnya, dermaga Nilam, Mirah, Berlian, Jamrud, dan Kalimas. Satu atau sekelompok kecil preman biasanya menguasai tempat itu. Namun, agak sulit mengidentifikasi siapa saja penguasa di sana, kecuali satu nama yang cukup dikenal: John Kelor.

# SEMARANG
Para penguasa Kota Semarang membagi “kue” kekuasaannya ke dalam tujuh bagian, yaitu Pasar Johar, Simpanglima, Karangayu, Banyumanik, Peterongan, Pelabuhan, dan stasiun. Kemudian, tiap bagian itu dipecah menjadi sub-sub wilayah, seperti selatan-atas, selatan-bawah, tengah, utara-atas, utara-bawah, Pasar Krempyeng, dan Pedamasan. Dari sub-sub bagian tadi, wilayah selatan-atas dan bawah merupakan daerah yang paling basah. Mungkin, itu disebabkan banyaknya pedagang kelas menengah yang mangkal di situ. Tempat lain yang tak kurang basah yakni kawasan Pedamasan. Di sini bongkar-muat barang dilakukan di bawah kontrol seorang berjuluk si Gendut. Pria berbadan subur itulah yang menetapkan uang keamanan Rp 500 sampai Rp 1.000 untuk skali tarikan. Dalam sehari terjadi minimal 25 kali bongkar-muat.

Selain jasa keamanan, bisnis-bisnis seperti perparkiran, pengamenan, dan pengemisan merupakan ladang strategis yang mampu mendatangkan uang dengan cepat. Dan, jenis pekerjaan itu terdapat hampir di semua sudut kota lumpia itu. Seperti juga di kota-kota lain di Indonesia, setiap wilayah kerja dijaga oleh preman, baik yang berasal dari jalanan maupun yang sudah ngepos di instansi tertentu. Yang patut disayangkan, selalu saja ada preman yang terlibat, atau merangkap sebagai pemain, minimal penadah barang-barang hasil kejahatan.

Dewasa ini, perebutan kursi antar-penguasa dunia hitam di Semarang makin kelihatan. Dari pengamatan D&R di lapangan, tampak ada dua kelompok yang sedang berebut pengaruh serta wilayah untuk menentukan siapa yang terkuat. Mereka ialah geng Cina asal Medan melawan geng lokal Semarang yang dibantu preman dari Jawa Timur. Separo pihak yang terlibat dalam suksesi itu, konon, kelompok preman yang selama ini menguasai bisnis judi. Ada fakta bahwa di tempat-tempat, seperti Johar Atas, Taman Parkir, Hotel Grand Rama, Depok, Kompleks Bukit Sari dan Tanah Mas, praktik perjudian dengan nilai ratusan juta per malam berlangsung aman-aman saja.

# BANDUNG

Di Bandung, orang biasanya menyebut kaum preman sebagai “okem”, kependekan dari prokem. Namun, ada kesan sinis dari julukan itu, sebab istilah okem berkonotasi merendahkan pekerjaan preman. “Habis kebanyakan okem Bandung mah tukang palak, suka mabuk, dan biang reseh,” tutur Tia, mahasiswi sebuah akademi swasta.
Pendapat Tia boleh jadi benar. Buktinya? Lihatlah di Terminal Kebon Kelapa pada saat jatah para okem dari sopir angkot tak terabaikan. Hampir pasti terjadi amukan para okem. Tidak jarang, mereka tega mengacak-acak tempat si sopir atau si tukang dagang yang dianggap melawan.

Contoh lain, Cicadas. Ini adalah sebuah wilayah di perbatasan Bandung Timur yang dikenal amat padat penduduknya. Di tempat ini, jatah preman biasa dipungut dari toko, pedagang, dan sopir angkot. Yang menyebalkan, kebanyakan preman Cicadas itu seperti calo. Maksudnya, mereka memunguti jatah kecil-kecil dari orang, kemudian memakai uangnya untuk minum-minum atau mabuk obat. Dengar pengakuan seorang tokoh jagoan setempat yang tidak mau disebut namanya. “Di Cicadas ini sebenarnya tak ada preman. Yang ada, siapa yang paling berani berantem atau sering keluar-masuk penjara, biasanya ia akan disegani. Itu saja.”

Di pusat pertokoan Bandung Indah Plaza, seorang anggota Pemuda Pancasila (PP) asal Irian dikabarkan menguasai tempat ini. Jatah preman yang diperoleh tokoh itu berasal dari sopir taksi yang setiap saat lalu lalang di Jalan Merdeka. “Bayangkan,” kata seorang calo taksi di Bandung Indah Plaza kepada D&R, “Setiap taksi harus menyetor Rp 500 sama dia. Dan, di sini ada seribu taksi yang tiap hari mondar-mandir. Apa enggak kaya dia?” Masih menurut sumber tadi, “Dulu, yang pegang wilayah ini si Martin Bule. Tapi, setelah dia mati tergilas kereta api, tak ada orang yang menguasai Bandung Indah Plaza, kecuali anak PP.”

Areal yang barangkali agak aman sekarang ini, justru kawasan alun-alun yang dulunya menjadi pusat keramaian Kota Bandung. Armen, penguasa kaki lima di Jalan Dalam Kaum mengatakan, “Di sini tidak ada lagi preman yang utuh. Semua orang punya usaha. Ada yang jaga parkir, berjualan koran, calo angkot, atau pedagang kaki lima.” Nama Armen memang cukup disegani di daerah itu. Terbukti kalau ada keributan di alun-alun, aparat keamanan paling hanya mencari Armen. Dulu, Bandung mempunyai sederet nama preman yang dikenal masyarakat. Salah satunya, karena keberadaan mereka yang sering membantu keamanan setempat. Aktor Rachmat Hidayat misalnya.

Masalahnya, kenapa kini kaum preman Bandung dipandang sinis oleh sebagian masyarakat?

Laporan Bambang Soedjiartono, Abdul Manan, Prasetya, Aendra H.M.
D&R, Edisi 970913-004/Hal. 102 Rubrik Laporan Khusus

Wajah baru DPRD Sumut Mengkhawatirkan

Selasa, 12 Mei 2009

Medan. Dari hasil perhitungan suara KPUD Sumut secara total, diperkirakan sekira 70 persen merupakan legislator wajah baru. Kebanyakan dari mereka merupakan pendatang baru dunia politik yang minim pengalaman. Ini sangat mengkhawatirkan peta politik dan pemerintahan di Sumut, karena akan menjadi mainan politk dari legislator incumbent dan birokrat. Hal ini dikatakan pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara, Wardjio, MA ketika dihubungi Selasa sore, 12/5.

Menurut Wardjio, fenomena dan peta politik di DPRD Sumut akan berubah total karena beberapa faktor. Diantaranya, kegamangan masuk ke wilayah politik yang di Sumut ini sangat beda dengan eskalasi yang tinggi dan manuver yang tak terduga, sebagai contoh kasus propinsi Tapanuli yang ditengarai menjadi ajang politik legislator ulung. Kurangnya pengalaman legislator baru bagi pendatang baru ini akan mempengaruhi kebijakan elit birokrasi dan akan menjadi bulan-bulanan mereka.

“Saya melihat ada kecenderungan para elit politik lama dan elit birokrasi akan berupaya memanfatkan peluang kelemahan pendatang baru. Bila legislator mentah ini tidak belajar dan cepat beradaptasi sesuai dengan tugasnya, akan tergilas dan membuat kondisi pemerintahan pun akan rancu dalam kebijakan pembangunan,”jelasnya.

Lebih lanjut kekhawatiran staf pengajar fisipol USU Medan ini, menyangkut pemanfaatan terhadap mayoritas peraih kursi terbanyak untuk kepentingan sepihak. Dampaknya, lanjut Wardjio, pola ini akan membuat birokrasi menjadi tidak concern dalam pembangunan, akan lebih cenderung melayani dan mengistimewakan partai pemenang pemilu.

Seperti diketahui dari 100 kursi DPRD Sumut, partai demokrat meraih 28 suara dan menjadi mayoritas yang akan menduduki posisi penting, mulai dari jabatan ketua hingga di komisi-komisi.

Bambang Soed/Medan

Reformasi Macam Apa

Tuntutan reformasi makin keras. Tak lagi hanya dari mahasiswa, tapi juga dari para pengajar, seniman, dan kaum profesional lain. Macam apa yang mereka inginkan?

SEBELUM meninggalkan Tanah Air menuju Mesir pada Sabtu pagi kemarin, 9 Mei. Presiden Soeharto mengatakan reformasi sebetulnya sudah lama dijalankan di negeri ini dan akan terus dilangsungkan. Karena itu, menurut dia, persoalan reformasi sebenarnya tak perlu dipusingkan.

Sebelumnya, Ketua DPR-MPR Harmoko berucap senada. Menurut dia, fraksi-fraksi di DPR pun sepakat mengagendakan reformasi di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Implementasinya, ya, dengan penyempurnaan dan pembuatan undang-undang. Adapun soal desakan mahasiswa untuk mengadakan sidang istimewa MPR, Harmoko mengatakan belum cukup dasarnya.

Kalau mendengar kedua keterangan itu. terkesan tak ada sebenarnya masalah besar dalam reformasi sebab sudah dan tengah dijalankam Tapi, begitukah? Rekaman berbagai komentar kalangan mahasiswa, dosen, cendekiawan, atau seniman berbunyi lain. Berikut ini beberapa cuplikan pandangan mereka.

* Merthinus Weriman, Ketua Senat Mahasiswa Universitas Cenderawasih, Jayapura

"Yang dituntut mahasiswa dan rekan-rekan lain adalah reformasi yang radikal, yang cepat, sekarang juga. Padahal, Pak Harto mengatakan baru dilakukan tahun 2003.

Reformasi harus di segala bidang. Dalam bidang politik harus diciptakan iklim yang demokratis. Khusus untuk Irianjaya, stigma OPM (Organisasi Papua Merdeka) harus dihilangkan. Kalau mahasiswa bicara kritis, dicap OPM. Ini tidak baik. Dalam bidang hukum harus ada kepastian. Hanock Ohee sudah diputus menang oleh Mahkamah Agung, tapi kemenangannya kemudian dianulir. Rakyat menjadi tak percaya."

* Maria Korano, Ketua Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi G.KK.I.S. Kijne,
Jayapura.

"Bagi Irianjaya, barangkali reformasi hukum agraria paling penting. Soal tanah ulayat harus jelas, sebab sering masyarakat pemilik tanah adat dirugikan dalam pembangunan proyek pemerintah."

* Syamsul Bahri, Ketua Senat Mahasiswa Universitas Islam Sumatra Utara, Medan

"Sidang istimewa MPR menjadi mendesak karena kebijakan pemerintah dalam menangani krisis sekarang tak jelas. Walau kabinetnya sudah terbentuk. terbukti eksekutitnya tak berdaya. Karena itu, legislatif harus bertindak sebelum keadaan lebih parah "

* Sofyan Tan Dokter, Aktivis Pembauran di Medan

"Perubahan yang mendasar dan mendesak itu dalam politik, bagaimana kebijakan bisa membuat orang punya pekerjaan dan bisa makan. Juga, bebas mengeluarkan pendapat serta hak asasinya terjamin."

* Fidelia, Ketua Senat Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

"Yang diinginkan masyarakat tak lain dari reformasi personal dan sistem. Jadi, pemerintah tidak akan dapat keluar dari krisis jika reformasi yang dilakukan hanya setengah-setengah. Sistem yang saya maksud misalnya adanya lima paket undang-undang politik dan tidak adanya kemerdekaan berpendapat.

Cuma, yang menjadi soal adalah bagaimana mungkin merombak sistem ketika yang berada di dalam sistem itu ternyata adalah orang-orang yang sudah sekian puluh tahun memandatkan sistem itu. Mereka akan mempertahankan status quo. Mahasiswa merasa sepertinya sudah tak ada jalan lain selain semua orang ini turun dulu. Memang, saya belum bisa berspekulasi siapa yang patut naik nanti."

* Paulus Heru Nugroho, Aktivis Universitas Airlangga, Surabaya

"Agenda yang paling mendesak tetap di bidang politik. Misalnya, kita ingin menghapus monopoli. Dengan sistem seperti sekarang sangat mungkin terbentuk lapisan kelas menengah mapan yang tak mandiri. Dan, mereka itu akan mengeruk kekayaan alam dan uang Indonesia untuk kepentingan sendiri.

* Pernyataan Sikap Senat dan Pimpinan Universitas Trisakti, Jakarta

"Untuk menyelamatkan rakyat, bangsa,dan Tanah Air Indonesia, kami mendukung sepenuhnya aspirasi dan tuntutan mahasiswa Indonesia umumnya dan mahasiswa Trisakti khususnya. Pada hakikatnya, mereka menyuarakan aspirasi seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki dilakukannya reformasi di segala bidang mulai sekarang juga."

* Pernyataan Bersama Pengajar dan Guru Besar Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, Universitas Airlangga, dan Universitas Indonesia

"Aspirasi dan tuntutan mahasiswa tentang reformasi di segala bidang mempunyai dasar pemikiran yang kuat dan obyketif sehingga perlu didukung oleh seluruh jajaran dosen, guru besar, pimpinan, dan segenap sivitas akademika perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

Kami mengajak seluruh anggota sivitas akademika perguruan tinggi negeri dan swasta se-Indonesia serta para cendekiawan, alumni, kelompok profesional, lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi masyarakat dan keagamaan untuk bersama-sama menggalang kerja sama guna mewujudkan sasaran reformasi menyeluruh."

Laporan Abdul Manan (Surabaya), H.A. Ondie (Jayapura), L.N. Idayanie, R Fajri (Yogya), Rudianto Pangaribuan (Bandung), Bambang Soedjiartono (Medan) Rachmat H. Cahyono, M Husni Thamrin dan Ate (Jakarta).

D&R, Edisi 980516-039/Hal. 24 Rubrik Liputan Khusus

Pasrah Saja kalau Tak Punya Uang

Saturday, March 07, 1998 - Majalah D & R

Ada anggapan bahwa orang cina tak terpengaruh oleh krisis sekarang. Lalu muncul sentimen. Mereka pun diamuk. Benarkah semua orang cina kaya?

CERITA dari Medan selalu lain. Entah kalau kenyataannya demikian. Kalau di sejumlah kota di Indonesia keturunan Cina dihantui oleh bayang-bayang kerusuhan, mereka yang tinggal di Medan mengatakan tidah begitu terusik. Sebab, sampal saat ini tidak mengalami gangguan. Hanya rumor yang bermunculan, bukti nyatanya tak ada.

Menurut pantauan D&R, sasana bisnis di kota itu memang tak terganggu kendati harga barang tetap tinggi walau operasi pasar telah diadakan. Karena itu, wajar kalau warga Cina-nya bisa tenang-tenang saja. Contohnya Penny, orang Cina pemilik kedai kopi di Jalan Mesjid, Medan. "Lihat bagaimana nanti sajalah. Semua terserah Tuhan saja. Saya kan lahir dan besar di Medan. Jadi tidak akan ke mana-mana," ucap perempuan lajang berusia 47 tahun itu. Penny yang mengusahakan kedai kopi bersama adik-adiknya yang sudah berkeluarga itu menambahkan, dirinya tak akan hengkang ke luar negeri. "Modal apa yang mau kami larikan ke luar negeri? Seandainya saya kaya pun cukup di Medan
saja berusaha."

Seperti Penny, Indra Wahidin, Wakil Ketua Bakom PKB Sumatra utara, mengatakan dirinya tak mengkhawatirkan kerusuhan. Sebab, kata generasi ketiga yang lahir di Medan itu menyebut selama ini dirinya berhubungan baik dengan semua kalangan. "Bisa saja karena itu kita dilindungi." Meski demikian, Indra yang dokter itu mengakui bahwa rasa tak aman memang tetap ada dalam dirnya. Karena itu, ia senantiasa awas.

Seperti di kota lain, perekonomian di Medan juga dikuasai orang Cina. Mereka itu umumnya tinggal di pusat kota dan kawasan bisnis lain yang sedang tumbuh. Agak sulit menaksir berapa besar aset mereka karena tertutup, seperti kata Subaninyo Hadiluwih, Asisten Direktur Eksekutif Institut Bina Bisnis Indonesia Medan.

Subanindyo menyebut, dibanding dengan etnik sejenis di Pulau Jawa, Cina Medan lebih sering bepergian untuk urusan keluarga dan bisnis ke negara tetangga. Terutama ke Singapura, Malaysia, Taiwan, dan Hong Kong. Ada sebuah tradisi bahwa Cina Medan yang telah bereksepsi tak pernah melepaskan akarnya. Mata rantai bisnis dengan Medan tetap dipelihara. Dengan demikian, kata pengamat tentang Cina yang menulis buku Studi tentang Masalah Tionghoa di Indonesia: Studi Kasus di Medan tersebut, pelarian modal sangat mungkin terjadi selama ini. Tapi, bukan karena kerusuhan yang marak belakangan ini.

Kerusuhan besar anti-Cina di Medan hanya terjadi pada tahun 1966 dan 1994. Aksi mengganyang Partai Komunis Indonesia berubah menjadi keluruhan anti-cina pada tahun 1966. Demikian juga unjuk rasa Serikat Buruh Sejahtera Indonesia pimpinan Muchtar Pakpahan di tahun 1994.
Kalau di Medan orang cina masih bisa tenang-tenang, tidak demikian di Surabaya dan beberapa kota Jawa Timur lainnya. Sejumlah gejolak anti-cina di sana belakangan ini telah membuahkan ketakutan. Kasus terakhir terjadi di Kraton, Pasuruan, awal Februari kemarin. Waktu itu sekitar 12 rumah toko (ruko) milik cina dilempari massa. Ada pula yang dilempari dengan bom molotov. Memang tak ada korban jiwa dalam amuk yang dipicu oleh kenaikan harga minyak tanah menjadi Rp 1.000 per liter tersebut.

Sosiolog Dede Oetomo membandingkan suasana sekarang dengan ketakutan orang cina di Bali pada tahun 1965-an, yang membuat mereka harus mengungsi ke Pulau Jawa. Kalau sekarang mereka hengkang dari Pulau Jawa dan beberapa kota lain ke luar negeri. Menurut Dede, selama krisis sudah sekitar US$ 1 miliar uang Indonesia yang diparkir di luar negeri. Tentu sebagian besar adalah dana orang cina. Tapi, ketakutan orang cina ini, kata Dede, merupakan gejala lama. Dan, indikasinya sudah bisa dibaca saat pemilu kemarin. Adanya bukan hanya di kalangan kaum keturunan, tapi di lingkungan kaum kelas menengah umumnya.

Kerusuhan itu, menurut dosen sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga tersebut tak bisa dijadikan sebagai indikasi kemarahan kepada orang cina. "Saya tak melihat itu. Yang terjadi adalah kerusuhan yang diberi warna anti-cina." Dede mencontohkan amuk di Kraton, Pasuruan. Waktu itu Toko Wahid milik pribumi juga ikut dibakar. Jadi, yang menjadi sasaran bukan hanya cina, tapi mereka yang ekonominya berlebih. Dede membenarkan bahwa kebencian itu memang ada. Tapi, secara umum benci kepada kalangan berduit, yang diberi cap anti-cina atau anti-Kristen. Dede yakin orang seperti dirinya tak ada masalah. "Seperti saya, Arief Budiman, atau Kwik Kian Gie itu sudah seperti luntur bau cina-nya."

Daniel J.T., dosen psikologi di Sekolah Al-Kitab Surabaya menyebut, ada pandangan dalam masyarakat bahwa orang cina tak terpengaruh oleh krisis sekarang. Pandangan inilah menurut dia yang memunculkan sentimen. Apalagi ada juga orang cina yang tidak peduli. "Mungkin mereka menganggap kita ini berasal dari keluarga yang sangat mampu semua, sehingga tidak terimbas krisis."

Adanya pandangan yang keliru tadi, kata Daniel, telah menyudutkan kelas menengahhawah orang Cina. Kalangan ini sebenarnya tidak mengerti apa-apa tapi menjadi korban dalam kerusuhan seperti yang terjadi di Ujungpandang dan Jawa Tengah belum lama ini. Mereka hanya bisa pasrah.

Bambang Soedjiartono dan Abdul Manan

D&R, Edisi 980307-029/Hal. 65 Rubrik Bisnis & Ekonomi

Satu Domba Dua Karib

Kredit sekian triliun rupiah di Bank Mandiri rawan macet. Agresifnya pembelian aset kredit dari BPPN dan pengucuran pinjaman ke sejumlah politikus dituding jadi penyebab.

SERATUSAN orang pengunjuk rasa berteriak-teriak di depan kantor pusat Bank Mandiri, Jakarta, Selasa pekan lalu. Terik sinar matahari tak menyurutkan semangat mereka. Sambil mengusung aneka poster dan spanduk, mereka menyoal gunungan kredit bermasalah di bank beraset Rp 250 triliun itu. Bank pelat merah yang baru go public itu dituding telah berlaku sembrono dalam menyalurkan kredit, dengan mengabaikan syarat kelayakan usaha para debitornya. "Triliunan rupiah uang rakyat di Bank Mandiri telah dikelola seenaknya," kata Anton, salah satu demonstran.

Para pengunjuk rasa yang antara lain menggabungkan diri dalam perkumpulan bernama Gerak—Gerakan Rakyat Anti-Korupsi—itu rupanya tak asal bicara. Mereka mengaku telah mengantongi segepok data sebagai bukti. Salah satunya menyangkut pembelian kredit PT Domba Mas dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) senilai Rp 1,15 triliun, yang pembayaran cicilannya kini masuk kategori kurang lancar.

Pengamatan TEMPO di lokasi pabrik Domba Mas, perusahaan eksportir kacamata, di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, memang mendapati suasana muram. Dalam tiga bulan terakhir, perusahaan itu terus melakukan pengurangan pegawai. Dari jumlah semula 1.500, kini tinggal 700 karyawan saja.

"Kami ditawari mengundurkan diri dengan alasan efisiensi dan volume ekspor berkurang," kata Simamarta, seorang pegawai di sana yang masa kerjanya enam tahun disudahi dengan dana pesangon Rp 9 juta.

Bos Domba Mas, Sutanto Lim, pun kini jarang terlihat di pabrik. "Dia sekarang lebih suka mengurus usaha kebun sawit dan peternakan babi," ujar Simamarta lagi.

Selain Domba Mas, juga dipermasalahkan penyaluran sejumlah besar kredit kepada para politikus. Salah satunya adalah Oesman Sapta. Para demonstran menuding, pinjaman kepada pengusaha yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat itu diberikan secara tak patut, dan digelontorkan semata berdasar kedekatan hubungan Oesman dengan Direktur Utama Bank Mandiri, E.C.W. Neloe. Salah satu bukti, masih kata barisan pemrotes, adalah keanggotaan Novan Andre Paul Neloe, putra Neloe, di Partai Persatuan Daerah yang diketuai Oesman.

Dokumen akta pendirian partai itu, yang diperoleh TEMPO, memang menunjukkan hal serupa. Dibuat di depan Notaris Herlina Pakpahan di Rangkas Bitung, nama Novan jelas tercantum sebagai salah satu pendiri.

Politikus lain yang kena senggol dalam urusan kredit bermasalah ini tak hanya Oesman. Masih ada seorang lagi, Habil Marati, anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR. Wakil rakyat dari daerah pemilihan Sulawesi Tenggara ini disinyalir telah menerima kucuran dana Rp 300 miliar untuk membiayai proyek pemrosesan cokelat, pabrik seng, pembibitan udang, dan pengalengan ikan.

Kenyataannya, kata Anton, demonstran yang juga berasal dari Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, "Proyek-proyek itu tak berjalan sehingga kreditnya berpeluang macet."

Pekan ini Anton dan kawan-kawan akan berbondong-bondong menemui pimpinan Dewan di Senayan. "Kami akan membuka data-data yang lebih terperinci kepada mereka yang berkomitmen dan berkompeten meneruskan kasus ini," ujar Abdul Haris Maraden, koordinator pengunjuk rasa.

Berbagai kecurigaan yang telah dilansir ke muka publik itu tak pelak menempatkan Bank Mandiri kembali berada di bawah lampu sorot. Soalnya, untuk urusan membeli aset kredit, bank pemerintah terbesar ini memang tergolong sangat agresif. Sampai akhir semester lalu, "Si Pita Emas" tercatat telah memborong aset kredit dari BPPN senilai Rp 4,9 triliun.

Apalagi, belum lama ini Deputi Gubernur Bank Indonesia Maman Soemantri telah merilis peringatan: salah satu penyebab naiknya rasio kredit busuk perbankan adalah pembelian aset kredit dari BPPN secara ugal-ugalan. "Kalau bank tak mampu mengelola sehingga kualitasnya turun, kredit macet bisa bertambah," Maman mengingatkan.

Lampu kuning pun telah menyala dari sejumlah data. Menurut laporan yang dilansir untuk para investor, kualitas kredit Bank Mandiri memang tak begitu mulus. Jumlah kredit dalam pengawasan yang membaik menjadi kredit lancar, misalnya, cuma senilai Rp 2,2 triliun. Sebaliknya, jumlah kredit lancar yang turun tingkat menjadi kredit dalam pengawasan mencapai Rp 2,4 triliun.

Alarm berbunyi makin keras di tingkat selanjutnya. Jumlah kredit kurang lancar yang membaik ke kredit dalam pengawasan cuma Rp 300 miliar. Sebaliknya, kredit dalam pengawasan yang memburuk ke kredit kurang lancar melonjak menjadi Rp 1,4 triliun.

Mungkin itu sebabnya Bank Mandiri belakangan ini jadi begitu waspada. Ibarat petinju, mereka sudah memasang double cover rapat-rapat untuk menghadapi risiko melonjaknya kredit macet. Rasio penyisihan penghapusan aktiva produktifnya (PPAP) dipatok hingga 178,2 persen dibandingkan dengan kredit macet. Nilai PPAP itu Rp 4,5 triliun lebih tinggi daripada provisi minimum yang ditetapkan oleh bank sentral.

Toh, pihak-pihak yang terkait membantah berbagai sinyalemen minor Gerak di atas. Wakil Presiden Direktur I Wayan Pugeg menyatakan banknya tak goyah seinci pun, karena aset-aset tersebut dibelinya dari BPPN dengan harga megadiskon. "Cuma 15-20 sen dan tergolong utang lancar," ujarnya. Termasuk yang masih lancar, kata Pugeg, adalah kredit Domba Mas di atas. "Kalau ada short liquidity di sebuah perusahaan, itu kan biasa. Tapi nggak sampai macet, kok," ujarnya.

Subiyanto, General Manager Domba Mas, juga membantah kabar tak sedap yang menerpa perusahaannya. Semasa krisis, katanya, pihaknya memang sempat mengalami kesulitan membayar pinjaman. Apalagi jumlah utang pun meroket gara-gara lonjakan kurs. Tapi kini kondisinya berbeda. "Pembayaran kredit sekarang masih tergolong lancar," kata Subiyanto dalam jawaban tertulisnya kepada majalah ini.

Seorang pejabat Mandiri membisikkan, dua pekan lalu Domba Mas telah kembali mengangsur pembayaran utang. Tapi belum jelas apakah cicilan itu untuk masa satu bulanan atau tiga bulanan. "Kalau bulanan, berarti bulan depan kreditnya masuk kategori lancar lagi. Tapi, kalau tiga bulanan, ya baru tiga bulan lagi dihitung kategori lancar," ujarnya.

Habil Marati, yang kini sedang mencalonkan diri menjadi Ketua Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, pun membantah kreditnya di Mandiri bermasalah. "Saya memang mendapat kredit dari Bank Mandiri, tapi nilainya kecil. Tak sampai Rp 300 miliar dan masih lancar," katanya. Sebagai pengusaha, menurut Habil, wajar-wajar saja jika dia mendapat pinjaman. "Kalau nggak boleh dapat kredit, nggak maju dong perusahaan saya," kata anggota Komisi Perbankan DPR itu.

Di luar urusan dinas, Habil mengaku telah lama berteman karib dengan Neloe. "Saya sudah dekat dengan Neloe jauh sebelum dia menjadi Direktur Utama Mandiri," ujarnya. Kebetulan, mereka lahir pada tanggal dan bulan yang sama. Namun Habil menepis tuduhan bahwa faktor hubungan intim itulah yang telah memuluskan kucuran kredit ke perusahaannya. "Kedekatan saya dengan dia murni pertemanan," ujar Direktur PT Batavindo Kridanusa itu. "Sebagai bankir, dia juga akrab dengan banyak politikus lainnya."

Lain Habil, lain lagi Oesman Sapta. Kepada mingguan ini Oesman bahkan membantah memiliki sangkutan kredit dengan Bank Mandiri. "Saya tak punya utang sepeser pun ke Bank Mandiri," ujar pengusaha hutan yang juga menjabat Presiden Komisaris Lion Air itu.

Sebagai teman, kata Oesman, ia malah merasa kerap dirugikan kebijakan Neloe. Sewaktu Mandiri menjual saham, misalnya, ia tak boleh ikut memesan. "Padahal saya kan mau untung juga," katanya. Dalam soal perkawanan itu, dia mengaku tak cuma bersahabat karib dengan Neloe, tapi juga berhubungan erat dengan anak-anak sang Direktur Utama Mandiri. "Kalau anaknya masuk partai saya, apa salahnya?" Oesman balik bertanya.

Nugroho Dewanto, Y. Tomi Aryanto, Thomas Hadiwinata, Bambang Soedjiartono (Medan)

Majalah Berita Mingguan Tempo, 20 Oktober 2003) -http://majalah.tempointeraktif.com

Kiat Menghidupi Kampus

Sabtu, 23 Mei 2009

Subsidi pendidikan pemerintah terlalu pas-pasan, sehingga kampus
negeri mencari tambahan dana dengan membuka kelas sore. Hasilnya cukup
untuk menyambung hidup.

--------------------------------------------------------------------------------
DI banyak negara, pos anggaran untuk pendidikan bisa mencapai 10
persen dari total anggaran pemerintah. Tapi di Indonesia, bahkan
ketika ekonomi masih normal, anggaran pendidikan tak sampai 2,5
persen, atau sekitar Rp 5,5 triliun, dari anggaran pendapatan dan
belanja negara.
Padahal, jatah anggaran itu mesti dibagi-bagikan kepada sekitar 500
ribu sekolah dan 51 perguruan tinggi negeri. Jumlah yang terbatas itu
dipakai untuk pembayaran gaji guru dan dosen, pemeliharaan bangunan,
pembangunan kelas-kelas baru, serta untuk biaya operasi harian,
seperti pengadaan kertas kerja atau bahan praktikum.

Dalam pada itu, biaya pengelolaan perguruan tinggi negeri, misalnya,
semakin lama semakin besar. Sebaliknya, subsidi anggaran dari
pemerintah semakin tak mencukupi kebutuhan.

Itu sebabnya pemerintah memperkenankan para pengelola kampus negeri
untuk menyelenggarakan program pendidikan di luar program reguler.
Program ekstra itu bisa berupa kelas ekstensi (sore), baik untuk
program diploma-3 (D-3), strata-1 (S-1, sarjana), maupun strata-2
(S-2, master).

Bagai gayung bersambut, keran otonomi anggaran itu langsung
dimanfaatkan kampus negeri. Universitas Indonesia (UI), contohnya,
merintis bisnis dengan membuka berbagai kelas sore. Untuk program D-3
saja, fakultas sastra serta fakultas ilmu sosial dan ilmu politik
(FISIP) telah melahirkan 16 program studi.

Lantas, untuk program S-1, UI membukanya di fakultas teknik, hukum,
ekonomi, psikologi, dan FISIP. Masih ada lagi program S-2 berupa
spesialisasi ilmu kedokteran dan ilmu hukum, plus magister manajemen
(MM), yang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP)-nya sekitar Rp 30
juta.

Dari situlah UI bisa menutup dana sebesar Rp 49,9 miliar dari total
pengeluarannya yang Rp 105,8 miliar setahun. Untuk menutupi sisa
biaya, tentu saja UI masih mengharapkan subsidi pemerintah.

Langkah serupa dilakoni Institut Pertanian Bogor (IPB). Program D-3,
belakangan juga program MM, diakui oleh Pembantu Rektor II IPB Dr.
Bunasor Sanim sebagai tambang uang bagi universitas negeri yang
berusia lanjut itu.

IPB bahkan juga mengepakkan sayap bisnis di luar pendidikan, seperti
usaha warung telekomunikasi, fotokopi, percetakan, serta usaha jasa
konsultasi peternakan dan pertanian.

Di luar itu, masih ada lagi bisnis kerja sama IPB dengan pihak swasta.
Pertama, proyek agrobisnis perkebunan mangga senilai Rp 78 miliar
bersama Grup Bakrie. Kedua, kerja sama dengan perusahaan properti
untuk memanfaatkan lahan tak produktif di Rancamaya, Bogor.

Dari bisnis itu, IPB mencetak pemasukan Rp 26,1 miliar. Bagi
pemerintah, angka itu cukup lumayan. Sebab, dengan total pengeluaran
IPB sebesar Rp 51 miliar, subsidi pemerintah tinggal Rp 24,9 miliar.

Institut Teknologi Bandung (ITB) malah bisa menutup sekitar Rp 80
miliar dari total pengeluarannya tahun lalu, yang mencapai Rp 105
miliar. Pemasukan itu diperoleh ITB dari uang pendidikan D-3 sampai
MM, plus bisnis lain seperti penjualan hasil penelitian.

Di Yogyakarta dan Medan, kampus negeri juga mengupayakan kiat serupa.
Sementara Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogya menempuh bisnis di
jalur pendidikan, Universitas Sumatra Utara (USU) di Medan menggarap
bisnis perkebunan.

Memang, total dana dari aneka bisnis tadi masih belum mungkin menutupi
total pengeluaran kampus. Lagi pula perguruan tinggi negeri tak
mungkin bebas dari subsidi pemerintah. Urusan gaji pegawai dan dosen,
umpamanya, seperti dikatakan Rektor UGM Prof. Ichlasul Amal, tetap
menjadi tanggung jawab pemerintah.

Persoalannya tinggal lagi manajemen bisnis pendidikan nonreguler.
Jangan sampai terjadi "perburuan" dana sebesar-besarnya, sementara
mutu dan manajemen pendidikannya telantar. Sebab, selama ini, gelar
dan logo kampus negeri bukanlah barang asal-asalan alias tidak untuk
diperjualbelikan.

Ma’ruf Samudra, Dewi Rina Cahyani (Jakarta), dan Bambang Soedjiartono
(Medan)


Sumber: Tempo On-Line

Pers Sumut Dukung Perjuangan Bersihar Lubis

Rabu, 26 December 2007 | 06:00:52
________________________________________
MEDAN - Kalangan pers di Sumatera Utara mendukung perjuangan kolomnis sekaligus wartawan, Bersihar Lubis, yang tersangkut kasus pencemaran nama baik Kejaksaan Agung. Pernyataan itu setidaknya mengemuka dalam diskusi yang diselenggarakan Masyarakat Pers Sumatera Utara (MPSU), kemarin di Sekretariat Kantor DPP Korps Wartawan Republik Indonesia (KOWRI).

Sejumlah organisasi wartawan seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan, Persatuan Wartawan Indonesia Reformasi (PWI Reformasi) Sumut dan Korps Wartawan Republik Indonesia (KOWRI) lewat perwakilannya menyampaikan dukungan tersebut. Diskusi itu sendiri menghadirkan Bersihar Lubis sebagai narasumber dan dipandu Hasnul Amar dari MPSU.

Sejumlah wartawan dan praktisi hukum hadir dala pertemuan tersebut, diantaranya Coking Soesilo Sakeh (Ombudsman Sumut Pos), Bambang Soedjiartono, Darma Lubis. Dari praktisi hukum hadir Nur Alamsyah dari LBH Kowri.

Seperti diketahui, Bersihar Lubis didakwa melanggar pasal 207 KUHP tentang pencemaran tertulis terhadap penguasa dan badan umum yang ada di Indonesia. Ia juga didakwa melanggar pasal 316 jo 310 ayat (1) KUHP karena dianggap menghina instansi Kejaksaan Agung. Dakwaan itu sendiri bermula dari tulisannya berjudul ''Kisah Interegator yang Dungu'' yang dimuat Koran Tempo pada 17 Maret 2007.

Atas nasib yang kini dialami mantan wartawan Tempo itulah yang membuat sejumlah kalangan pers di Sumut prihatin. ''Kita harus merapatkan barisan. Apa yang dialami Bang Ber (panggilan akrab Bersihar Lubis-red) suatu waktu juga akan menimpa kita,'' kata Porman Wilson Manalu, Ketua AJI Medan. Ia melihat, kasus Bersihar Lubis bisa jadi titik awal kalangan pers di Sumut untuk melakukan konsolidasi internal di tubuh wartawan. ''Dengan demikian, kita tidak lagi gagap menghadapi situasi seperti ini,'' ungkap Wakil Pemimpin Umum Harian Posmetro Medan ini.
Senada dengan Porman, ketua DPP Kowri Iskandar juga melihat bahwa pers di Sumut cenderung bermain sendiri-sendiri. ''Pers di Sumut tidak solid. Setiap kasus yang dialami wartawan, dukungan pers di daerah ini tidak maksimal,'' ungkap pemilik koran Harian Andalas ini.

Bersihar Lubis Terharu

Bersihar Lubis merasa terharu atas dukungan kalangan pers di Sumut. Dukungan itu, kata pria yang sudah 35 tahun mengabdikan dirinya sebagai penulis ini, semakin meyakinkan dirinya untuk melawan penindasan atas profesi yang digelutinya. ''Di Jakarta, kawan-kawan dari AJI dan PWI Reformasi siap berjuangan di belakang saya,'' ujar Bersihar Lubis yang mulai menulis di usia 22 tahun.

Bagi Bersihar Lubis, dukungan atas perjuangannya itu bukan semata-mata untuk kepentingan pribadinya yang sedang tersangkut hukum. ''Lebih dari itu semua, apa yang kita lakukan hari ini adalah demi masa depan dunia pers di Indonesia. Setidaknya anak cucu kita kelak juga akan mendapat manfaat,'' kata pria kelahiran Sibolga, 25 Februari 1950 ini.

Langkah awal yang akan dilakukan, kata Bersihar, ia dan sejumlah pengacara di Jakarta akan menjudical revieuw pasal 207 KUHP. �Kasus saya ini tidak layak diadili dengan KUHP, tapi lewat UU No 40/1999 tentang Pers,� papar pria yang mengaku sepanjang karir kewartawanannya baru kali ini diprotes dan langsung ke meja hijau. (yul)

Ketika Tentara Harus Memilih - Tempo

NO. 05/XXVIII/6 - 12 Apr 1999 Sipilisasi ABRI


Sekitar 4.000 anggota ABRI harus memilih: tetap berbaju hijau, menjadi
PNS, atau menjadi sipil. Upaya Wiranto mengurangi kritik terhadap
dwifungsi?
_________________________________________________________________

LETJEN A.M. Hendropriyono benar-benar militer tulen. Jika harus
memilih, perwira aktif bintang tiga yang dikaryakan sebagai Menteri
Transmigrasi itu masih ingin terus memakai seragam tentara, walau
karirnya hanya tersisa setahun. Hendropriyono dan sekitar 4.000
perwira pada 1 April ini memang sudah harus memilih: tetap memakai
seragam militer atau memilih menjadi orang sipil. Itulah perintah
terbaru Panglima ABRI Jenderal Wiranto yang mendapat perhatian luas.
Ketika pilihan itu disodorkan kepada Hendro, bekas Panglima Kodam Jaya
itu berujar mantap, "Kalau disuruh pilih, saya akan kembali ke
ABRI. Saya kan enggak minta jadi menteri." Sampai pekan lalu,
Hendro belum pernah dikontak untuk menentukan pilihannya.

Kebijakan pensiun massal itu diberlakukan untuk semua perwira ABRI
yang dikaryakan pada jabatan sipil. Jenderal Wiranto sesungguhnya
meneruskan gagasan Presiden B.J. Habibie, yang pernah menyampaikan
"Pokok-Pokok Pikiran Reformasi ABRI" pertengahan tahun lalu. Maksudnya
jelas, mengembalikan citra baik ABRI yang selama ini banyak dikecam
karena konsep dwifungsi dinilai terlalu banyak ikut campur dalam
kehidupan sipil. ABRI sendiri sudah berkali-kali menegaskan sikap
untuk berdiri netral di atas semua golongan, misalnya dalam pemilu
mendatang ini. Ini jelas jawaban dari gelombang kritik yang datang
bertubi-tubi terhadap langkah ABRI dalam pentas politik Indonesia.
Sikap ABRI yang bertahun-tahun hanya mendukung Golkar, saat ini, diuji
kembali.

Awal April ini, para perwira kekaryaan-kecuali anggota ABRI di DPR dan
DPRD yang dianggap tetap dalam dinas aktif-harus mengembalikan
formulir pilihan yang sudah dibagikan tiga bulan lalu. Ternyata, itu
bukan hal mudah bagi para prajurit yang biasa mendapat perintah atasan
itu. Awal Februari lalu, dari 1.048 prajurit di Markas Besar (Mabes)
ABRI dan Kepolisian, baru 49 persen yang sudah menentukan sikap.
Sebagian besar (354 orang) memilih tetap di jabatan sipilnya-artinya,
mereka harus pensiun sebagai prajurit. Hanya sedikit yang memilih alih
status sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dan lebih sedikit lagi yang
mau bertahan di dinas militer.

Mereka tampaknya bersikap pragmatis sehingga memilih pensiun ketika
disodori pilihan itu. Dengar saja alasan Wali Kota Bandung Kolonel Aa
Tarmana. "Kita tidak tahu hasil pemilu mendatang. Siapa tahu nanti
ABRI sudah tak diinginkan rakyat. Terus saya mau ngapain?" ujarnya
kepada Rinny Srihartini dari TEMPO.

Walau banyak yang ingin menjadi sipil, rencana pensiun massal ini
bukannya tanpa hambatan. Pekerjaan besar itu, yang menurut rencana
akan dimulai saat serah terima Panglima Daerah Militer (Pangdam)
Diponegoro, pertengahan Januari lalu, terpaksa ditunda karena banyak
protes dari tentara yang dikaryakan. Mengapa? Selama ini, kekaryaan
masih dijadikan kartu truf para perwira untuk mencari "tambahan"
ketika memasuki usia pensiun atau ketika menunggu jabatan yang lebih
tinggi.

Cuma, seperti laiknya prajurit, protes itu tak banyak terdengar ke
luar. "Mereka pada takut aja untuk menyanggah," ujar Hendropriyono,
salah seorang perwira yang berani menunjukkan sikap. Sikap keras
Hendro ini memang beralasan. Bila ia kembali ke ABRI, masih terbuka
peluangnya untuk memegang tongkat komando sebagai Panglima ABRI, yang
"nyaris" digenggamnya ketika Presiden Habibie menyusun kabinet.
Kabarnya, hanya beberapa saat sebelum pelantikan, pencantuman nama
Hendro sebagai Panglima ABRI dibatalkan.

Kesan politis di balik pensiun massal ini tak terhindarkan dengan
"penolakan" Hendro dan mungkin yang lainnya. Ada kesan bahwa Jenderal
Wiranto-yang sampai kini terus merangkap jabatan sebagai Menteri
Pertahanan Keamanan-tengah "membuat barikade" untuk jenderal bintang
tiga yang masih punya kans untuk melesat ke atas. Di kabinet, yang
masih militer aktif adalah Jaksa Agung A.M. Ghalib, Menteri Penerangan
M. Yunus, dan Menteri Transmigrasi Hendropriyono. Dari ketiga calon
itu, hanya Hendro-lah yang dari segi usia berperluang naik. Benarkah
kesan tersebut? Jelas tidak, ujar Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen)
ABRI Mayjen Syamsul Ma'arif.

Apa pun kesan yang timbul, ABRI sudah menetapkan langkah untuk
melaksanakan kerja besar ini. Sebuah upaya pengumpulan data dari
sekian ribu prajurit yang dikaryakan di seluruh Indonesia-sebagai
lurah, camat, bupati, sekretaris wilayah daerah, gubernur, hingga
petinggi di departemen-kini dilakukan. Dari perhitungan kasar, perwira
ABRI yang menjabat sebagai menteri tercatat empat orang (dari 21
departemen), lalu ada sepuluh yang menjabat gubernur (dari 27
gubernur), dan 128 orang menjadi wali kota atau bupati (dari 306 pos
itu).

Untuk itu, diperlukan beberapa syarat untuk menetapkan pensiunnya
seorang prajurit, seperti data penelitian khusus dan persetujuan
atasan. "Kesulitan makin bertambah karena ada anggota yang sudah
mengirim data minta pensiun, tapi belakangan ia menelepon untuk
membatalkannya," kata seorang sumber yang mengurus masalah tersebut.
Sikap ragu-ragu ini umumnya dilakukan oleh prajurit muda yang masa
dinasnya masih panjang. Jelas saja, bila mereka memilih pensiun,
tunjangan pensiun yang didapat akan sesuai dengan pangkatnya yang
terakhir. Namun, bila ia kembali ke kesatuannya, belum tentu akan
segera mendapat jabatan.

Itu kerugian yang didapat seorang prajurit dari segi jenjang karir.
Dalam hal penghasilan, sebenarnya mereka tak mengalami kerugian.
Seorang anggota ABRI yang dikaryakan, ujar Kapuspen Syamsul Ma'arif,
sedang melakukan pengabdian dan itu berarti mereka hanya dibayar oleh
Mabes ABRI sesuai dengan pangkat terakhirnya. "Jadi, mereka enggak
dibayar dobel," katanya. Namun, mereka bisa mendapatkan tambahan
penghasilan dari tunjangan jabatan. Ambil contoh Kolonel (Mar.)
Soebagio, Wali Kota Jakarta Utara. Sejak dilantik Oktober lalu, ia
tetap menerima gaji sebagai kolonel sebesar Rp 800 ribu. Namun, ia
masih mendapat tambahan pemasukan dari tunjangan jabatan wali kota
sebesar Rp 1-1,25 juta, selain fasilitas jabatan seperti rumah dan
mobil dinas.

Kalau ia pensiun, tiap bulannya Soebagio hanya menerima 70 persen dari
gajinya sekarang. Tapi, bila ia memilih menjadi PNS, pangkat
kolonelnya akan disetarakan, yang diduganya setara dengan golongan
IV-C. Gaji untuk golongan ini tak berbeda dengan gajinya semula, Rp
800 ribu. Tak adanya perbedaan ini dimungkinkan karena aturan pangkat
dan besarnya pendapatan antara ABRI dan PNS sama.

Soal tak adanya perbedaaan ini dibenarkan oleh Gubernur Sumatra Utara
Mayjen Rizal Nurdin. Menurut mantan Pangdam I/Bukit Barisan ini,
ketika terpilih menjadi gubernur, ia boleh memilih gaji sebagai
gubernur atau ABRI. "Dan saya lebih memilih gaji mayjen yang lebih
kecil," ujar perwira berusia 51 tahun ini kepada Bambang Soedjiartono
dari TEMPO.

Seperti Soebagio dan Rizal Nurdin, Bupati Kudus Kolonel Amin Munadjat
sudah memantapkan diri untuk memilih jalur kepegawaian sipil. Padahal,
dengan usianya yang masih 49 tahun, sebenarnya masih terbuka
kemungkinan baginya untuk mendaki karir militer. Baginya, kursi bupati
yang sudah didudukinya sejak delapan bulan lalu dianggapnya sebagai
bukti kepercayaan masyarakat yang harus dijaganya.

Dengan keluarnya mereka dari jajaran Mabes ABRI, putus juga jalur
komando. "Sehingga tidak ada dobel komando," kata Letkol Sugeng
Suryanto, Kapendam IV/Diponegoro. Semua masalah kini harus mereka
hadapi dengan cara yang berbeda. "Ketika saya menjadi wali kota, saya
harus menghadapi kerusuhan, penjarahan, demo mahasiswa dengan cara
persuasif. Beda dengan saat saya berdinas di marinir, yang dengan
mudah saya hadapi dengan seragam, perlengkapan, dan pengawal," cerita
Wali Kota Soebagio.

Pensiun massal ini meredakan kritik tentang fungsi kedua ABRI?
Nyatanya tidak. Masyarakat yang diwakilkan oleh anggota-anggota DPRD
DKI tak setuju bila kekaryaan dihapus sama sekali di Pemda DKI. Yang
baik, kata mereka, dilakukan pengurangan personel ABRI secara rasional
dan obyektif. Ketidaksetujuan anggota FPP Achmad Suaidy, misalnya,
karena ia menganggap ada instansi atau bagian tertentu yang memerlukan
penanganan secara komando atau membutuhkan "pengetahuan" kemiliteran,
sehingga jabatan itu lebih mudah dipegang oleh perwira ABRI. Jabatan
Wali Kota Jakarta Utara, umpamanya, harus diisi oleh mereka yang
mengerti seluk-beluk kemaritiman karena wilayahnya sebagian besar
laut.

Memang sulit memuaskan keinginan semua orang.

Diah P., Arif A.Kuswardono, Iwan Setiawan, Bandelan Amarudin
_________________________________________________________________

Pejabat Sipil dari ABRI aktif
Kementerian: 121 Departemen 4 Menteri
2 Sekjen
5 Dirjen
5 Irjen
2 Jabatandirangkap Menhankam Pangab
Kepala Daerah/Gubernur (27 Propinsi) 10 Gubernur dijabat ABRI
Walikota/Bupati Dati II (300 Jabatan) 128 Walikota/Bupati dijabat ABRI

Melibas Mafia Peradilan

Menteri Kehakiman Prof. Muladi bakal menggebrak mafia peradilan. Bagaimana kendala dan ekspektasinya?

MAKHLUK yang satu ini acap disebut-sebut, dicaci, bahkan diburu. Ia diakui dan dirasakan selalu menghantui proses peradilan, namun tak kunjung terjamah wujudnya. Bahkan ketika jabatan Menteri Kehakiman kini diemban Prof. Muladi, orang pun kembali mensinyalimya: “mafia peradilan”.

Meski hasrat awal Menteri Muladi hendak membabatnya, toh banyak aparat peradilan, termasuk Muiadi, tak setuju dengan istilah rnafa peradikln. Begitupun, hampir tiada yang tak sepakat bahwa berbagai praktik negatif di peradilan entah korupsi, kolusi, percaloan perkara, ataupun pungutan nan jauh melampaui tarif resmi–mesti segera diberantas.

Tinggal sekarang persoalannya, bagaimana mendekatkan hal yang senyatanya (das sein) dengan yang seharusnya (das sein). Setidaknya, contoh fenomena yang pernah mencuat di Pengadilan Negeri (PN) Medan bisa ditilik kembali. Pada tahun lalu, sebanyak 61 pengacara di sana sampai melapor ke berbagai instansi pemerintah lantaran praktik calo perkara di Medan semakin merajalela.

Namun, pengaduan itu tak mengubah keadaan, bahkan para pengacara itu yang terkena intimidasi. Betapapun, di Medan, orang tak henti-hentinya mendengungkan berbagai praktik negatif di pengadilan.

Pernah ada penetapan waris yang diajukan anak yatim-piatu untuk mengurus tunjangan pensiun orang tuanya sampai mesti dibayar Rp 300 ribu. Dan, ongkos pengiriman berkas perkara dari PN Medan ke Pengadilan Tinggi Sumatra Utara–yang cuma bersebelahan dinding–bisa seharga Rp 50 rihu.

Belum lagi suara miring tentang hakim di sana. Misalnya yang dialami Edison Lumbanbatu, 45 tahun. Lelaki berewok itu menggugat bekas perusahaannya untuk membayar gaji dan tunjangan kesehatannya selama dua tahun lujuh bulan, sebesar Rp 400 juta. Perkaranya ditangani majelis hakim yang diketuai Kimar Saragih.
Menurut Edison, ia pernah didatangi seseorang yang mengaku utusan hakim Kimar. Orang itu menyampaikan pesan Kimar: bila Edison mau menang, ia hrus memberi 10 persen dari nilai gugatannya–berarti Rp 40 juta–ke alamat Kimar. Tapi, Edison enggan mengabulkan pesanan itu.

Setelah perkaranya berkali-kali disidangkan–janggalnya menurut dison, hakim sering menyidangkan gugtan itu di ruang kerjanya–ternyata, pada 19 Februari lalu. majelis hakim menyatakan tak berwewenang mengadili gugatan Edison. Keruan saja, Edison mengadukan ulah hakim ke berbagai pejabat tinggi di Jakarta.

* Dibantah Hakim

Apa kata hakim Kimar Saragih? “Orang yang kalah biasa banyak omong. Coba kalau ia menang ?” ujar hakim yang bermasa kerja 27 tahun itu. Lantas, ia menambahkan, “Kalau masalahnya sekecil itu, apa mungkin hakim mh1ta Rp 40 juta? Lantas, soal sebelum sidang, wajar kan ngumpul dan ngorol di ruangan.”

Yang diprotes Guntur P Napitupulu lebih seru lagi. Syahdan, Guntur digugat oleh Bank Mestika Dharma Medan karena kreditnya senilai Rp 76 juta macet. Perkaranya diadili majelis hakim yang dipimpin P. Simanjuntak.

Suatu waktu, Guntur menyelesaikan urusan kredit itu ke kantor Bank Mestila Dharma. Rupanya, ia ditemani hakim Simanjuntak. Sang hakim naik mobil Guntur: sementara Guntur sendiri menggunakan taksi. Lantas, disepakati bahwa Guntur mesti membayar utangnya yang menjadi sebesar Rp 92, juta. Selesai? Ternyata, gugatan terhadap Guntur tetap disidangkan.

Toh setelah masalah itu diributkan, seperti juga hakim Kimar, hakim Simanjuntak menyatakan bahwa tudingan Guntur tidak benar. Menurut Shimanjuntak yang telah 30 tahun menjadi hakim, ia memang pernah ditawari Guntur untuk membantu penyelesaian kredit tersebut di kantor Bank Mestika Dharma. Tapi, hakim Simanjuntak menolaknya.
Sampai suatu hari, tutur hakim Simanjuntak, kebetulan harus bertemu Guntur di kantor Bank Mestika Dharma. “Waktu itu, saya sedang mengurus kepindahan kerja anak saya, dari Bank Danamon di Binjai ke Bank Mestika Dharma di Medan itu,” kata Simanjuntak.
Gara-gara ulah Guntur, hakim Simanjuntak mengaku dirinya merasa dipermalukan. Begitu juga anak-istrinya, jadi tertekan. Namun, “Saya tak akan menuntut dia. Kalaupun saya salah, biarlah saya pertanggungjawabkan kepada Tuhan,” ujarnya.

* Tak Tuntas

Lain pula yang pernah terjadi di PN Surabaya. Seorang terdakwa perkara pemalsuan merek sandal ando terang-terangan menuding hakim J.E. Wongsonegoro telah menerima uang Rp (5 juta dari pihaknya. Sang hakim, sih mintanya Rp 100 juta. Ee… tak tahunya, si terdakwa tetap dikenakan penahanan.

Sebetulnnya. Nyonya Cindrawati juga menyatakan bahwa pihaknya, melalui seorang anaknya bernama Bunarto, telah sepakat dengan hakim Eko Wardoyo, Ketua PN Surabaya. Agar gugatan Cindrawati atas tanah seluas 14.20 meter persegi bisa menang penggugat diperkenankan membayar Rp 75 juta dari Rp 125 juta yang ditawarkan sebelumnya. Ternyata, Cindrawati kecele: dia tetap kalah.

Belum pupus kisah Cidrawati, sebanyak 125 orang bekas karyawan PT Dharma Lautan, yang menggugat perusahaannya itu, jua “bernyanyi” bahwa hakim M. Husein telah menerima suap dari lawan perkaranya sehingga gugatan mereka dikalahkan. Soalnya, kata mereka hakim Husein sebelumnya meminta mereka masing-masing menyediakm dana Rp 1 juta, tapi mereka tak mampu membayarnya.

Namun, begitulah, kebanyakan isu suap hakim yang ditudingkan pencari keadilan acap tak berbekas kemudian. Pengadilan Tinggi Jawa Timur, misalnya, hanya menyatakan bahwa tuduhan ke arah hakim Wongsonegoro dan hakim M. Husein tidaklah benar.
Dengan mengamati berbagai fenomena itu, menurut pengacara Trimoelja D. Soerjadi, sepertinya ada kesan bahwa lembaga pengadilan cenderung melindungi koleganya.

Kalaupun ada mekanisme dan pemberian sanksi, itu hanyalah administratif. “Tak pernah ada kasus hakim yang diajukan ke pengadilan,” ucap pengacara di Jawa Timur itu.
Tak cuma aspek law eforcement begitu agaknya yang mesti diperhatikan Menteri Kehakiman Muladi bila hendak memberantas kolusi dan korupsi di pengadilan.
Menurut pengacara O.C. Kaligis, aspek pencegahan pun perlu dilakukan untuk menanggulangi sebab-sebah munculnya kolusi dan korupsi. Antala lain, “Rotasi penempatan hakim di suatu tempat sampai lima tahun. Apalagi panitera, bisa 20 sampai 25 tahun. Kalau terlalu lama, mereka akan sangat ‘menguasai’ daerahnya,” kata Kaligis.

Selain itu tentu saja aspek kesejahteraan hakim, khususnya gaji. “Saya sudah menjadi hakim selama 30 tahun, bergaji pokok dan tunjangan sebesar Rp 1,3 juta. Dengan uang sebesar itu mesti hidup dan bertugas di kota hesar seperti Jakarta. Padahal, hakim mesti menjaga kehormatan dan kewibawaannya. Hakim kan manusia biasa, yang tak mustahil bisa tergoda,” kata seorang hakim di Jakarta.

Boleh jadi, masih banyak lagi kendala untuk mewujudkan citra peradilan. Kendati demikian, yang jelas, hampir semua pihak mendukung hasrat Menteri Kehakiman Prof Muladi untuk membersihkan peradilan. Karena itu, mereka berharap agar gebrakan Muladi konsisten dan tak ragu-ragu bila hendak menindak hakim.

Laporan Gatot Prihanto (Jakarta, Bambang Soedjiartono (Medan), dan Abdul Manan (Surabaya). D&R, Edisi 980404-033/Hal. 72 Rubrik Hukum

Ketika Kita Lupa Berterimakasih !


Oleh : Bambang Soedjiartono

Menarik sekali pemberitaan berbagai media cetak dan elektronik dalam ragam kasus yang terjadi di belahan Indonesia. Hampir semua pemberitaan menyangkut kinerja aparat, baik aparat hukum mau pun elit politik yang saat ini mempersiapkan upaya hajat untuk maju sebagai kandidat Presiden RI. Mulai kasus kriminal, hukum dan politik semua bermuara kepada orasi dan publikasi akan jasa aktivitas dan jasa telah melakukan kinerja tugas dengan baik. Melakukan ‘blow up’ seakan semua kinerja telah berhasil baik, dan kecewa ketika rakyat lupa berterimakasih

Saya ingin mengajak semua pihak untuk merenungkan apa yang seharusnya dan selayaknya orang mengucapkan terimakasih, dan yang mana sejatinya harus berterimakasih. Inilah sekarang yang terabaikan dan diharapkan, selama kaum elit dan penguasa mempermainkan bahasa untuk pencapaian tujuannya dalam bercita-cita. Mereka umumnya cenderung bersifat narsis, seolah-olah sudah melakukan yang terbaik untuk negara Republik Indonesia dan berharap banyak kepada rakyat.

Apalagi momen ini dapat dimanfaatkan dengan memantau kondisi kalau bangsa Indonesia umumnya selalu atau bahkan sering melupakan semua apa yang menjadi perbuatan negatif atau buruk yang telah dilakukan oknum tertentu, figur publik atau pun tokoh. Sebagai bangsa pemaaf, hal ini menjadikan komoditi pihak tertentu untuk melakukan manuver politik untuk tujuan tertentunya. Memang kata “maaf” merupakan kata yang sangat ampuh untuk mengeliminir sesuatu yang salah atau yang tidak lazim atau tidak wajar dilakukan.

Mungkin untuk kita renungkan bersama, saya akan uraikan beberapa pemberitaan yang menjadi muatan media massa (termasuk harian Analisa) atas berbagai kasus yang terjadi dari berbagai pelosok negeri kita Indonesia. Kejadian-kejadian dan orasi tokoh menjadi perenungan kita bersama. Apakah memang benar rakyat Indonesia lupa berterimakasih kepada penguasa atau pemimpin bangsa ini. Atau penguasa dan pemimpinlah yang lupa kalau slogan, “dari rakyat, untuk rakyat” masih tetap berlaku.

Masih ingat ketika Jusuf Kalla mengungkapkan alasan maju sebagai presiden? Dihadapan audien dirumahnya di Makasar, Sulawesi Selatan, ia menyatakan kalau banyak orang lupa sama jasanya dan Golkar. Diungkapkannya kalau apa yang diperbuat selama menjabat wapres merupakan ide terobosannya. “Orang lupa berterimakasih sama Golkar dan saya dengan apa yang sudah diperbuat,”katanya serius.

Lain hal lagi ketika Ketua KPK, Antasari Azhar ditahan polisi. Orang juga lupa akan jasanya dalam membanteras korupsi dan fokus kepada dugaan sebagai tindakan aktor intelektual dalam kasus terbunuhnya Nasrudin Zulkarnain. Berapa pun yang sudah dimasukkannya ke bui, tapi sirna diterpa angin isu nyata pembunuhan tingkat tinggi. Semua hilang akan jasa-jasanya, apalagi ucapan terimakasih pun menjadi terlupakan dan akan sia-sia semua yang telah dilakukannya sebagai kewajiban utama.

Terakhir di Medan, saat pertemuan antara buruh dengan Ketua Peradilan Hubungan Industri Pancasila (Pengadilan Perselisihan Perburuhan) di Medan. Saat itu, buruh mengungkapkan kalau hakim merangkap kerja sebagai konsultan perusahaan, kepala urusan SDM dan membela perusahaan. Terungkapnya ini membuat terkejut sang ketua pengadilan negeri Medan. Namun, tak satu pun kata ‘terimakasih’ dan ‘maaf’, tapi hanya sepatah kata akan menindak lanjuti tanpa komitmen yang jelas.

Tiga uraian diatas adalah fakta riil dari kenyataan kehidupan sehari-hari, kenapa kita dikatakan selalu lupa mengucapkan terimakasih atas jasa dan upaya orang dalam melaksanakan kewajibannya. Ini hanya sekedar mengingatkan kalau kita juga sebagai bangsa pemaaf yang senantiasa memaafkan, walau bagaimanapun besar kesalahan orang. Tapi kita juga gampang mengucapkan terimakasih kepada orang yang jangan kan banyak, sedikit saja berjasa ungkapan terimakasih pun meluap diberikan kepada orang.

Namun yang terlupakan, pada umumnya, manakala orang mengalami kesusahan atau pun butuh pertolongan akan memunculkan sifat ego dan narsis kalau dirinya merasa pernah berjasa kepada publik dan harus mengungkapkan untuk tujuan tertentu dalam pencapaiannya. Tentu saja, apa yang diucapkan Jusuf Kalla, kejadian kasus Antasari Azhar dan kasus hakim kerja ganda merupakan ungkapan hati agar semua tidak lupa mengucapkan terimakasih atas semua upaya dan jasa yang pernah diperbuat.

Nah, sebagai kesimpulannya, apakah memang betul kita bangsa yang gampang lupa berterimakasih kepada setiap orang berjasa atau orang yang berbuat baik. Tapi bagaimanapun, kita harus menyikapi secara jernih kalau elit politik kita dan tokoh yang jadi figur publik sangat membutuhkan ucapan terimakasih dari rakyatnya. Apalagi saat menjelang pilpres ini, mari kita budayakan kembali ucapan terimakasih kepada siapa saja yang sudah berbuat. Paling tidak ini bisa menggembirakan semua pihak, tentu juga Pak Jusuf Kalla.

Alhasil, yang tercipta dari ketidaklupaan berucap terimakasih akan mempertebal budaya malu kita. Selama ini budaya malu kita hanya menjadi retorika kehidupan yang kontradiksi dengan kekerasan hidup. Dan setidaknya, kebiasaan meminta maaf, terbiasa melakukan ucapan terimakasih masih relevan untuk kehidupan dalam menyikapi budaya malu. Ini akan membuat tujuan kita membanteras kejahatan, utamanya pidana korupsi bisa tereliminir minimal. Setidaknya ucapan Jusuf Kalla, ada benarnya, tapi yang terpenting adalah bagaimana ini menjadi keikhlasan kita bukan karena tekanan makna ucapan. Terimakasih.

Medan, 08 Mei 2009

Solusi Air Bersih Belawan

Jumat, 15 Mei 2009

Program 5 tahun Solusi Air Bersih

Seperti diketahui, Program air bersih di Belawan adalah program yang merupakan proyek percontohan nasional untuk penanggulangan air bersih bagi masyarakat miskin kota di Indonesia. Keberhasilan proyek ini akan segera di replikasi secara nasional di beberapa kota besar di Indonesia oleh Departemen Pekerjaan Umum. Solusi air bersih merupakan salah satu hajat beberapa komponen yang peduli akan sanitasi dan solusi hidup bersih dan layak konsumsi. Apa yang diterapkan dalam program air bersih di kawasan Medan Belawan merupakan terobosan yang merubah pola hidup masyarakat yang kumuh menjadi tereliminir semua kondisi yang dihadapi. Baik sanitasi atau pun sulitnya air bersih.

Di Medan sendiri, keberhasilan proyek pengadaan air bersih bagi masyarakat miskin kota ini akan ditindaklanjuti setiap tahunnya, dengan menelisik wilayah yang membutuhkannya. Hal itu tergambar jelas dalam Rencana Investasi Pembangunan Jangka Menengah (RIPJM) Untuk Sanitasi 2009 – 2013 Kota Medan. Setiap tahunnya, pemerintah kota akan meningkatkan akses air bersih bagi masyarakat miskin kota sebanyak 3.500 sambungan.

Rencana tersebut telah disetujui dan dikukuhkan bersama antara Pemko Medan melalui Dinas Perumahan dan Permukiman, PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara dan USAID ESP. Mekanisme implementasi RPIJM Air Bersih untuk MBR ini dituangkan kedalam APBD Kota Medan kemudian dianggarkan melalui dinas teknis terkait seperti Dinas Perumahan dan Permukiman. Kemudian dilaksanakan sesuai dengan mekanisme dan peraturan yang berlaku.

Menurut Juliansyah, Manager Program Water Dan Sanitasi ESP, kalau program sanitasi dan air bersih yang dijalankan ESP adalah dengan menggalang kerjasama para pihak seperti, Pemko Medan dan perusahaan air minum (PDAM Tirtanadi) untuk merealisir kebutuhan masyarakat miskin kota akan sarana air bersih. Kerjasama ini mrupakan tali sambung raa pihak pemerintah dengan warganya sebagai pembangunan berkelanjutan. ”Program ESP memang memfokuskan kepada masalah sanitasi dan pola hidup sehat dengan air bersih,”katanya.

Tahapan pelaksanaan teknisnya, lanjut Juliansyah, adalah melalui kerjasama dengan PDAM Tirtanadi, USAID ESP dan pihak terkait lainnya yang diawali dengan pemetaan lokasi, survei sosial dan teknis, serta penyiapan masyarakat. Lalu ditindaklanjuti dengan pekerjaan konstruksinya.

Untuk air bersih bagi masyarakat miskin kota ini, PDAM Tirtanadi melakukan program subsidi. Di mana biaya produksi air minum PDAM Tirtanadi sebesar Rp. 2,000/m3, namun untuk tariff kepada masyarakat miskin dalam program ini akan dikenakan dengan tariff sosial sebesar Rp. 690/m3. Sementara itu, di sisi lain Pemko Medan secara konsisten tetap menganggarkan pada APBD Kota Medan untuk perpipaan kepada 3,500 kepala keluarga miskin di tahun 2009 hingga 2013.

“Kalau di 2008 kami menyiapkan dana Rp 2,5 milyar, tahun 2009 ini kami menyiapkan dana sekitar Rp 3 milyar untuk penyediaan akses air bersih di Medan,” kata Pejabat Walikota Medan, Drs Affifuddin Lubis dalam pertemuan dengan USAID ESP, PDAM Tirtanadi, Dinas Perkim Kota Medan, World Bank dan Kedutaan Belanda di Kantor Kota usai Soft Launching Pengelolaan Air Bersih Berbasis Masyarakat di Belawan, beberapa waktu lalu.

Secara terpisah, Direktur PDAM Tirtanadi Medan, Effendy Syahril Pasaribu menyebutkan pihaknya berharap dalam kurun 2 hingga 3 tahun ke depan target Millenium Development Goals (MDG) untuk Kota Medan sudah tercapai. “Saat ini sambungan air bersih bagi masyarakat Medan sudah mencapai 78%. Mudah-mudahan dengan dukungan dan bantuan berbagai pihak serta RIPJM 2009-2013 yang telah disepakati, 2 hingga 3 tahun target 80% penduduk kota memiliki akses air bersih telah tercapai,” tegas Efendy.

15 Mei 2009

Bambang Soedjiartono/Belawan

Meretas Mimpi Nikmatnya Air Bersih

Feature

Suasana Lingkungan Berjaya, Kelurahan Bagan Deli, Kecamatan Medan Belawan, Kota Medan (18 km sebelah timur wilayah Medan), pukul 12.00 wib, panas udara laut, Selasa kemaren,12/5, layaknya pemukiman kumuh tampak jorok dan jauh dari kesan lingkungan sehat. Umumnya, bangunan perumahan yang tak beraturan berada diatas areal rawa-rawa yang kebanyakan dihuni oleh para nelayan, buruh pelabuhan dan pegawai kecil lainnya. Selain tidak higienis, polusi lingkungan pelabuhan, kesulitan akan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, menjadi kendala dan menyulitkan kehidupan dan roda perekonomian masyarakat setempat.

Puluhan tahun telah berlangsung kehidupan yang miskin, masyarakat mengalami kesulitan air bersih dan kebutuhannya dipasok oleh beberapa pemodal di kawasan itu, dengan membangun sumur bor untuk disewakan jam-jaman kepada warga setempat. Untuk menyewa sumur bor yang dipasok dan dialirkan ke setiap rumah, per jamnya warga harus mengeluarkan biaya sekitar Rp. 4000,- dengan menggunakan listrik sendiri. Padahal, setiap harinya, kebutuhkan masyarakat per kepala keluarga untuk air bersih sekitar 1500 liter, yang hanya digunakan untuk kepentingan air minum dan memasak. Untuk kebutuhan mandi dan lainya, umumnya masih menggunakan air payau rawa-rawa.

Pengeluaran untuk kebutuhan akan air bersih ini menjadi topik utama warga setempat selama kurun waktu panjang. Biaya kebutuhan air dan biaya listrik sangat terasa membebani perekonomian kaum marginal ini dari waktu ke waktu. Inilah menjadi kebutuhan pokok yang harus dikeluarkan setiap harinya. Sampai akhirnya, perubahan ini terjadi ketika upaya yang dirintis setahun lalu menjadi kenyataan. Kerjasama Pemko Medan dengan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi dan USAID-Environmental Services Program (ESP) dan beberapa LSM, yang merealisir melalui kerjasama selama setahun terakhir dipersiapkan telah menjadi kenyataan dan tidak lagi sekedar mimpi panjang.

Alhasil, setelah menunggu setahun dari realisir bentuk kerjasama akan kebutuhan air bersih, tersalurkanlah sebanyak 3.543 sambungan pipa air minum yang dipasok PDAM Tirtanadi untk menyegarkan rumah tangga miskin di Belawan dan mulai mengalir ke rumah-rumah. Tak terkirakan luapan kegembiraan yang luar biasa terpancar dari wajah-wajah para ibu dan anak-anak di salah satu kelurahan padat dan kumuh Kota Medan itu. Bagaikan anak yang sangat menantikan hadiah dari orangtuanya, luapan gembira diungkapkan dengan sibuknya mereka bermain air dan membuka krannya. Mulai sekedar mencuci muka sampai menampungnya. Sampai sekarang pemandangan itu masih terasa dan sepertinya masih menikmati air bersih yang selama ini hanya mimpi. Kini telah diretas mimpin menikmati air bersih dan layak guna, sekaligus meretas mimpi dan mengentaskan kemiskinan akan air bersih.

Kegembiraan tampak mewarnai rona kehidupan disana. Jelas seperti yang diutarakan, Saniah (45), adalah ibu rumahtangga yang memiliki 5 anak. Ia sangat bersyukur, rumahnya bisa tersambungkan dengan pipa air bersih yang dibantu Pemko Medan, PDAM Tirtanadi dan beberapa lembaga swadaya masyarakat. Masuknya saluran pipa air bersih dari PDAM Tirtanadi ini bagaikan anugerah Tuhan yang tak terpikirkan selama ini. Saking gembiranya, bahkan ibu paruh baya ini sudah merencanakan, kalau alat ukur meteran air yang terletak di depan rumahnya pun akan diberi kotak pelindung. ”Saya sangat bersyukur dan kewajibanku pula lah untuk merawat peralatannya, ini anugerah bagi keluarga kami”ungkapnya.

Saniah mengaku telah tinggal di kampung tersebut sejak berusia tiga bulan dan merupakan penghuni turun temurun dari keluarga nelayan di wilayah kawasan kumuh tersebut. Sejak itu pula, air bersih merupakan benda mahal dan sulit didapa selama menapak perjalanan hingga berumahtangga diri Saniah. “Saya biasanya harus mengeluarkan sekitar Rp 10 ribu sebulan. Itupun dengan antrian. Dengan uang itu, kami terpaksan mesti hemat menggunakan air,” ujar Saniah dengan mata berkaca-kaca.

Tapi, sekarang air bersih telah ada di dalam kehidupan rumah saya. Sungguh sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata ketika air bersih itu mengalir jernih memenuhi beberapa ember di rumahnya. “Terima kasih sudah membantu kami, dan cukuplah kesulitan air bersih saya alami dan jangan lagi untuk anak saya” lanjutnya dengan sorot mata berbinar.

Ternyata Saniah tak sendiri menikmatinya, kegembiraan serupa juga diungkapkan oleh Siti Aisyah (36), warga Lingkungan Berjaya, Kelurahan Bagan Deli, Medan Belawan. Walau selama ini ia merupakan salah satu pengusaha air disana, tapi tak membuat dirinya kecil hati kehilangan penghasilan. Menurut Siti yang juga pengusaha air bersih sumur bor ini, mereka mulai bisa menggunakan air dari PDAM Tirtanadi sejak akhir Maret lalu, dan dirinya pun beralih profesi, tak lagi menjadi pengusaha air tapi membentuk kelompok masyarakat untuk mengutip tagihan pembayaran iuran air.

Selama ini, ia dan warga setempat menggunakan air bersih yang bersumber dari sumur bor di rumahnya. Ia menjual airnya ke tetangga dengan harga Rp 2.500 per setengah jam bila ditarik dengan tenaga listrik melalui selang air. Sebulan ia bisa menghasilkan sekitar Rp 800 ribu hingga Rp 1 juta dari jual air bersih. “Saya tak kecil hati kehilangan penghasilan karena ini salah satu mimpi berkepanjangan warga disini untuk mendapatkan air bersih. Karena walau pun air dari pemboran, tapi kualitas dan rasa air tetap payau dan tak enaklah untuk dinikmati,”katanya bersemangat.

Namun sejak bantuan air bersih perpipaan itu masuk ke kelurahan Bagan Deli, air dari sumur bor memang tidak lagi dijualnya.Kini sumur bornya hanya untuk kepentingan rumah tanganya. “Paling untuk kebutuhan sendiri saja, walau kehilangan hasil tapi kami bisa hidup bersih yang layak” kata Aisyah menambahkan.

Bantuan air bersih perpipaan untuk masyarakat miskin di Belawan berada di 3 kelurahan. Ketiga kelurahan tersebut antara lain adalah kelurahan Bagan Deli, Belawan Bahari dan Belawan Satu. Air bersih tersebut dikelola dengan berbasis partisipasi masyarakat aktif. Di mana, masyarakat pengelola yang tergabung di dalam Kelompok Masyarakat Pemakai Air (Pokmair) akan menanggungjawabi pengelolaan mulai dari meteran induk hingga ke rumah tangga. Untuk kebutuhan 3.543 sambungan rumah tangga miskin tersebut, setidaknya ada 26 pokmair yang terbentuk.

Seperti dikatakan Sodikun (51), salah satu Ketua Pokmair, kalau mereka hanya bertanggungjawab terhadap amannya salouran pipa air dari kerusakan dan juga perawatan meteran induknya. ”Jadi selain mengutip uang bulanan air, Pokmair juga bertanggung jawab terhadap seluruh kerusakan dan keberlangsungan pipa dari mulai meteran induk ke rumah,” kata Sodikun menegaskan. Sementara, sambungan pipa besar hingga ke meteran induk dan pemeliharaannya, tetap menjadi tanggung jawab dari PDAM Tirtanadi Medan.

Sebagai ketua kelompok, Sodikun bertanggung jawab atas lebih dari 100 kepala keluarga yang tersambungkan dengan air bersih dari PDAM Tirtanadi di Lingkungan 8, Jalan Serdang, Kelurahan Belawan Satu, Kecamatan Medan Belawan.

“Memang mengelola air bersih untuk masyarakat di lingkungan saya merupakan tugas yang memerlukan perhatian dan cukup menguras waktu,” jelas Sodikun. Tapi Sodikun cukup senang karena masyarakat di lingkungan tinggalnya bisa mendapatkan air bersih dengan murah.

”Sekarang kami lebih mudah dan nyaman untuk beribadah di rumah. Kalau dulu, untuk mengambil air wudhu pun susah karena air bersih memang sulit. Apa lagi kalau mati lampu, kadang sering jadinya tidak beribadah,” jelas Sodikun.

Kini warga di tiga kelurahan di kecamatan Medan Belawan ini telah meretas mimpinya dan hari-harinya telah diisi dengan hidup bersih dan layak menikmati air yang selama ini meeka dambakan. Paling tidak selain menikmati kehidupan bersih, meeka juga telah mengirit pengeluaran anggarannya. Tak lagi membeli air dan tak lagi membebani biaya listriknya. Tak ada lagi mimpi berkepanjangan.

Bambang Soedjiartono/Belawan.
Jakarta Post

Batalyon Linud 100 vs Brimob di Binjai

Panglima TNI: Batalyon Linud 100 Akan Dilikuidasi

TEMPO Interaktif, Jakarta:Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto menyatakan Batalyon Lintas Udara 100 akan dilikuidasi apabila mereka terbukti menyandera para perwira saat bentrok antara kesatuan itu dengan Brimob, Minggu (29/9) malam lalu. “Itu cerminan bahwa mereka bukan prajurit lagi. Karena itu, terpaksa akan kita likuidasi,” kata Panglima usai peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya, Jakarta, Selasa (1/10) pagi.
“Kalau nanti indikasinya benar mereka menyandera, maka itu bukan lagi kesatuan TNI tetapi gerombolan bersenjata. Ini cacat berat,” kata Endriartono. Ia menambahkan saat ini TNI tengah menyelidiki kasus itu yang dipimpin oleh Kepala Staf Angakatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu.

Namun, Ryamizard menyatakan Batalyon Lintas Udara 100 tidak aka dilikuidasi. “Batalyon Linud 100 tidak akan dilikuidasi, hanya semua personel yang terlibat akan dikenakan tindakan tegas dan sanksi hukum,” kata dia usai pertemuan di ruang Panglima Kodam I/Bukit Barisan, Jalan Binjai Kilometer 6,5 Medan, Selasa (1/10) pagi. Pertemuan itu juga dihadiri Komandan Pusat Polisi Militer Mayjen Sulaiman A.B., Panglima Kostrad Letjen Bibit Waluyo, dan Kepala Polda Sumatra Utara Irjen Ansyaad Mbai.

Menurut dia, sejak Senin semua aggota Linud 100 yang menyerang Markas Polres Langkat dan Markas Brimob Kompi A Binjai, sudah meyerahkan diri ke Markas Linud 100. Namun, ada beberapa pucuk senjata yang belum kembali. Ia tidak menyebutkan berapa anggota yang menyerahkan diri dan berapa pucuk senjata yang belum kembali. “Kita masih melusurinya dan memeriksa semuanya,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, kepala staf mengungkapkan keprihatinan dan kekesalannya atas tindakan prajurit Batalyon Linud 100. “Ini mungkin ekses dari pemisahan TNI dengan Polri. Walau itu baik, tapi kita harus melihat dampak-dampak yang muncul.”

Saat berita ini dilaporkan, kepala staf sedang memberikan pengarahan kepada perwira Kodam Bukit Barisan. Rencananya ia akan mengunjungi Markas Polres Langkat, Markas Brimob di Binjai, dan Maskas Batalyon Linud 100 di Namu Sirasira, Binjai. (Dede Aribowo/Bambang Soed–Tempo News Room)
-----

Mayor Madsuni Jadi Perwira NonJob 

TEMPO Interaktif, Medan:Mayor Inf. Madsuni yang Rabu (2/10) pagi dicopot dari jabatannya sebagai Komandan Batalion Lintas Udara (Linud) 100/Prajurit Setia, akan ditempatkan sebagai perwira menengah tanpa jabatan di Kodam I/Bukit Barisan.
Selain itu, enam perwira yang menjadi Komandan Kompi di batalion tersebut juga dimutasi ke Kodam Bukit Barisan. Mereka adalah Lettu Inf. Putra Widya Winaya, Lettu Inf. Singgih Pambudi, Lettu Inf. Rafiola, Lettu Inf. Dwi Suwarno, Lettu Inf. Syawal.

Sementara Wakil Komandan batalion Mayor Inf. Saad tidak terkena sanksi, karena saat kejadian penyerangan pasukannya terhadap Markas Polres Langkat dan Brimob pada Minggu (29/9) malam, tidak berada di tempat dan sedang melatih pasukannya di perbatasan Aceh .

Sementara prajurit tamtama dan bintara yang dipecat berdasarkan keputusan Kepala Staf Angkatan Darat berjumloah 20 orang. Mereka yang diberhentikan dengan tidak hormat adalah Serda Hermansyah Pohan, Sertu Amru Daulay, dan Sertu Juair.

Dari jajaran tamtama adalah Kopral Dua (Kopda) Danang, Prajurit Kepala (Praka) Abdul Rahmat, Praka Hilman (keduanya ini yang melukai Kasatserse Polres Langkat, AKP Togu Simanjuntak), Praka Mulyadi, Prajurit Satu (Pratu) Aswinuddin, Pratu Darmanta Sembiring, Pratu Edi Syatriawan, Pratu Aswin, Pratu Nirwandi, Pratu Heri, Pratu Iskandar Guru Singa, Prada Darwin, Prada Sugiatno, Prada Padli, Prada M. Badai Samudera Purba dan Prada Khairul. (Bambang Soed-Tempo News Room)
-------- 

Bataliyon Linud 100 Binjai Diaktifkan Kembali

TEMPO Interaktif, Langkat:Batalyon Linud 100/Prajurit Setia yang bermarkas di namu Sira-sira, Kabupaten Langkat Sumatra Utara, diaktifkan kembali dalam upacara khusus yang dipimpin KSAD Jenderal TNI Ryamizard Ryucudu, Sabtu (8/3) pukul 14.00 WIB. Acara didahului dengan prosesi penyerahan tunggul Batalyon dari KSAD kepada Pangdam I/Bukit Barisan yang diteruskan ke Komandan Batalyon Infanteri 100, Letkol Inf. Irwansyah di lapangan Markas Yon Infanteri 100.
Seperti diketahui sejak kasus penyerangan dan perusakan Mapolres Langkat dan Markas Brimob Kompi A Binjai, 30 September 2002, KSAD membekukan aktivitas dan keberadaan Batalyon Linud 100/Prajurit Setia. Selain itu, sebanyak 14 orang prajurit yang terlibat penyerangan langsung yang mengaklibatkan kematian personil Brimob dan Polres Langkat diadili di Mahkamah Militer Sumatera Utara. Semua prajurit yang diajukan ke pengadilan rata-rata terkena hukuman 1-4 tahun penjara dan masih dalam tingkat banding.

Nama Batalyon Linud 100/Prajurit Setia dalam upacara pengaktiannya kembali diubah menjadi Batalyon Infanteri 100 dan masih menjadi bagian batalyon pemukul Kodam I/Bukit Barisan. Selain itu, baret hijau terang mereka berubah menjadi baret hijau gelap, dengan emblem berbentuk pisau komando dan halilintar dengan latar belakang merah putih.

Dalam amanatnya, Ryamizard mengatakan kalau selama ini komando Linud 100 sejak kasus itu diambil alih langsung KSAD. Namun, karena kebanggaan korps prajurit, tak ada alasan untuk membekukan satuan ini selamanya. Malah, "Bataliyon infanteri 100 ini akan ditingkatkan kualifikasinya setingkat Raiders," katanya.

Pergantian Linud 100/PS menjadi Brigif 100 ini dilakukan dengan mengganti sebagian besar personilnya dan hanya sepertiga yang "orang lama". Selebihnya merupakan rekrutan dari seleksi dari berbagai wilayah Kodam lainnya. Seperti prajurit yang diambil dari Kodam II/Sriwijaya, Kodam Jaya, Kodam III/Siliwangi,Kodam IV/Diponegoro dan Kodam V/Brawijaya. Kekuatan inti batalyon baru ini sebanyak 747 prajurit. (Bambang Soed – TNR) 
-------

 

Festival Film Anak 2008



Festival Film Anak 2008 di Medan Diharapkan Menjadi Agenda Nasional

08/04/2008 15:43:52
 Sineas Aceh patut berbangga, pasalnya Film dokumenter berjudul ”Menelusuri Jejak Anak Rimba” akhirnya di nobatkan sebagai pemenang pertama dalam Festival Film Anak (FFA) 2008 yang diselenggarakan di Garuda Plaza Hotel Medan, Selasa malam (29/7). Film yang diproduksi oleh anak-anak Jhanto Aceh Besar berkisah soal prilaku menyimpang generasi bangsa akibat himpitan ekomoni itu ternyata mampu men”curi” hati dewan juri dan menggeser posisi beragam karya anak lainnya dari luar Medan bahkan luar Pulau Sumatera Utara.
Menurut pemakarsa FFA yang juga saat ini sebagai Producer Sineas Film Dokumentary (SFD) Medan Onny Kresnawan, kemenangan sineas Aceh patut diacungkan jempol dan sekaligus harus menjadi pemicu bagi sineas Medan untuk berbuat lebih baik di kemudian hari.
Festival Film Anak (FFA) 2008 dipercaya akan membawa nafas baru menandai bangkitnya generasi muda kreatif yang akan mendorong kemajuan di dunia perfilman di Indonesia khususnya Sumatera Utara.
”Festival ini luar biasa. Anak-anak kita ternyata luar biasa. Karena ini adalah pertama kali di Indonesia dan patut di dukung semua pihak. Kita akan meminta kepada enam stasiun televisi di Sumatera Utara agar menayangkan film-film karya anak-anak Sumatera Utara ” kata Kepala Dinas Infokom Sumatera Utara, Edy Sofyan di sela-sela acara malam penganugrahan.
Edi menandaskan, FFA 2008 yang diorganisir oleh Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) ini harus diperjuangkan semua pihak agar dapat menjadi icon nasional yang dapat berlangsung secara rutin setiap tahunnya. Hal itu, katanya, tampak dari sebagian peserta FFA 2008 tidak saja berasal dari Sumatera Utara, tapi juga dikuti oleh peserta yang berasal dari Aceh (2 film), Bekasi (3 film), Malang (1 film) dan Semarang.
Diharapkan Edi, agar ajang festival yang memiliki nafas baru di dunia sinemathograpy di Sumatera Utara ini dan telah menunjukkan karya-karya luar biasa anak-anak untuk mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual ke lembaga yang berkompeten.
Hal senada disampaikan ketua Dewan Juri FFA 2008 Anthony Ricardo Hutapea. Antony didampingi 4 juri lainnya Dr. Daniel (pengamat film/ Sekretaris SENAKKI Sumut), Bambang Soed (Anggota KPID Sumut) yakni Fakhnita (psikolog remaja/ aktivis LSM) dan Defi Damayanti (Psikolog anak) menyebutkan, meskipun masih memiliki sedikit kelemahan, namun film anak-anak dapat menjadi dorongan bagi insan perfilman nasional khususnya di Sumut untuk bangkit memproduksi film-film yang bagus.
”Di masa mendatang, dengan adanya ajang festival seperti ini, film kita akan menjadi film-film yang baik dan berkualitas. Baik dalam maksud perencanaannya, baik dalam pengambilan gambar, penyutradaraan dan baik dalam pengeditannya,” terang Eksekutif Produser Anthony Pictures Production yang sedang mempromosikan film layar lebarnya yang berjudul ”Song of Ghost” itu.
Ulfa, Sekretaris Panitia kepada wartawan menjelaskan, FFA 2008 dilaksanakan dalam rangka memperingat Hari Anak Nasional (HAN) oleh Panitia bersama yang terdiri dari 16 lembaga independen, movie maker dan lembaga sponsor yakni PKPA, Sineas Film Documentary (SFD), Medan Short Movie (MSM), Kensington Intitute (KI), Independent Movie Maker Community (IMMC), Komunitas Film (KOFI) 52 Medan, Radio Prambors, Radio GO FM, Radio Suara Medan, Pusat Informasi Kesehatan Reproduksi Remaja dan Jender (PIKIR), HANs Advertising, Open Design House, Restu Printing, Coca-Cola, Bank Mandiri dan Garuda Plaza Hotel (GPH).
Ulfa yang juga pengurus di MSM itu mengimbuhkan, FFA 2008 merupakan serangkaian kegiatan yang berlangsung sejak 10 Juni 2008, yang terdiri dari kegiatan roadshow ke media massa cetak dan elektronik, Workshop Pembuatan Film Fiksi dan Dokumenter yang bertempat sekolah cinematografi, model dan tari Kensington Institute (KI) dan Penjurian yang berlangsung di PKPA dan Malam Penganugerahan yang berlangsung di Convention Hall GPH Medan.
”Dari 46 peserta yang mengikuti workshop, sebanyak lebih dari 20 tim yang melaksanakan produksi, 17 film di antaranya masuk ke meja panitia dan mengikuti proses penjurian, sementara 3 tim di antaranya belum rampung hingga proses penjurian berlangsung, yakni peserta Asal SMA Karya Agung Medan, SMP Dharma Parta Pangkalan Susu (dokumenter) dan satu peserta dari Semarang, Jawa Tengah,” cetusnya.
Malam penganugerahan FFA 2008 mengenugerahkan dua katagori film terbaik, yaitu film fiksi dan film dokumenter, serta lima katagori insan pefilman yang terdiri dari Sutradara, Editor, Cameraman untuk film dokumenter ditambah dua katagori untuk film fiksi yakni Aktor dan Aktris terbaik.
Untuk katagori Film Fiksi, film yang berjudul ”Andai Kutahu” produksi SANI Pictures – Bekasi terpilih menjadi Juara I, disusul ”Haruskah Kujatuh” produksi SMA Pancabudi - Medan sebagai Juara II, ”Terima Kasih Papan Caturku” produksi SMP Dharma Patra Pangkalan Susu – Langkat sebagai Juara III dan ”Nggak Lagi-lagi Deh” sebagai Film Favorit.
Sedangkan untuk katagori film dokumenter, Film berjudul ”Menelusuri Jejak Anak Rimba” produksi PKPA Aceh terpilih sebagai juara I, Film ”Coretan Liar” produksi Scetca 52 Medan sebagai juara II, ”Merajut Mimpi di Antara Kerikil” produksi SMA Gunung Sitoli - Nias terpilih sebagai juara III dan ”Kami juga Punya Rasa” terpilih sebagai Film Favorit.
Untuk katagori Insan Perfilman dalam film Fiksi terbaik Nafis pemeran utama dalam Film ”Andai Kutahu” terpilih sebagai Aktor Terbaik, dan Dika Widya Ambarwulan, siswi kelas III SMAN 2 Medan terpilih sebagai Aktris terbaik sebagai Widi, pemeran utama dalam film ”Jalan yang Kupilih” produksi SMAN 2 Medan.
Sedangkan, untuk katagori sutradara terbaik Ema S dalam film ”Andai Kutahu” untuk film Fiksi dan M. Taufik, siswa SMA Amir Hamzah untuk film dokumenter dalam film ”Global Never Warming” produksi Opique Pictures SMA Amir hamzah - Medan.
Mulyadi P dari SANI Pictures terpilih sebagai Editor terbaik untuk film fiksi dalam ”Andai Kutahu” dan Jenthro dan Natan editor terbaik untuk film dokumenter dalam film ”Kami Juga Punya Rasa” Produksi Charis National Academy.
Kameraman terbaik Rizkan Zania MN, terpilih sebagai Kameraman terbaik untuk katagori film dokumenter dalam Film ”Merajut Mimpi di Antara Kerikil” produksi SMA Gunung Sitoli Nias dan Fachri Anzar Hasibuan dalam Film ”Terima Kasih Papan Caturku” produksi Hasibuan Production/ SMP Dharma Patra Pangkalansusu Langkat sebagai kameraman terbaik untuk film fiksi.
Pada malam penganugerahan yang dihadiri tidak kurang dari 500 pasang mata itu, kepada Film terbaik baik katagori fiksi dan dokumenter masing-masing dianugerahi Tropy FFA 2008, Piagam Penghargaan dan tabungan senilai masing-masing Rp.2 juta (Juara I), 1,5 juta (Juara II), 1 juta (Juara III) dan 500 ribu (Juara Favorit). Sedangkan untuk katagori film Insan Film masing-masing dianugerahi Trophy FFA 2008 dan Piagam Penghargaan. (Jufri Bulian Ababil/Aisha)