YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Minggu, 04 November 2012

KPK Harus Bangun Penjara Tersadis Lebih Dari Guantanamo

Seseorang kadangkala harus melampaui batas demi membela kepentingan Negara. Bila diperlukan harus  menabrak hukum  demi penegakan hukum dan keamanan Negara. KPK harus menjadi lembaga Negara yang kuat dan disegani, mandiri dan independen. Tujuannya untuk terciptanya Negara yang bebas korupsi dan bebas dari kejahatan korporasi.

Korupsi bagai kuman yang telah menggerogoti tubuh Negara Indonesia, dimana kebuasan koruptor bagai gangster dan mafia yang sudah merasuk ke seluruh aspek kehidupan. Seperti film Kingkong yang terlena dengan kecantikan, tahta, harta dan wanita

Kalau saya jadi Ketua KPK harus dua periode agar tuntas semua program membanteras si King Kong ..eh..  si KORUPTOR. Tentu sinerginya adalah pembenahan internal di KPK secepatnya, konsolidasi  target niat dan persepsi yang sama, “BASMI KORUPTOR”.

Saya akan bangun institut  khusus penyidik, penuntut dan intelijen KPK yang akan melahirkan tenaga professional yang bermoral, konsisten, dan independen. Dengan jaminan emolument, remunasi dan karir yang pasti. Sebagai eksekutor, saya akan buat penjara khusus Koruptor yang terseram dan terkejam di dunia. Lebih sadis dari penjara mana pun di dunia, semisal Guantanamo.
KPK tak perlu meminta hukuman mati, karena KPK harus “menyiksa dan mendera” Koruptor di penjara khusus KPK.

Bersama  stake holder  mengajukan revisi UU KPK untuk penguatan KPK yang permanen dan tidak lagi ad hoc.  Meminta politisi (DPR) harus bersih saat disumpah sebagai wakil rakyat wajib membongkar sedikitnya lima kasus korupsi dalam masa baktinya.KPK melakukan penguatan jaringan internal dan eksternal secara stelsel sebagai kontra intelijen. Karena yang dilawan adalah kejahatan kerah putih dan siluman.

04 Nopember 2012
Bambang Soedjiartono

http://lombablogkpk.tempo.co/index/tanggal/486/R.%20BAMBANG%20SOEDJIARTONO.html

Sabtu, 03 November 2012

PREMAN DISINI PREMAN DISANA

Kelompok preman juga meruyak di berbagai kota besar. Mereka membagi wilayah kekuasaannya, tak ubahnya seperti memotong-motong kue. Siapa mereka dan bisnis apa yang digarap kaum preman? Bagaimana hubungan mereka dengan penguasa keamanan resmi? Inilah jepretan di beberapa tempat.

# MEDAN
Kalau ada bisnis yang mampu mencirikan, sekaligus menghidupkan kota Medan, barangkali itu perjudian dan bisnis sektor hiburan. Betapa tidak. Cobalah Anda berjalan-jalan di kawasan Petisah yang acap dijuluki sebagai kota yang tak pernah mati. Kegiatan bisnis pada pagi, siang, sore, malam, hingga dini hari berjalan amat dinamis. Pada pagi hari sampai sore, kawasan Petisah, misalnya di Jalan Nibung Raya, diwarnai bisnis jual-beli mobil bekas, perparkiran, penitipan, dan pencucian mobil. Namun, begitu malam tiba, kawasan ini berubah menjadi pusat kegiatan hiburan, usaha makanan, bahkan pelacuran dan perjudian.

Wajarlah jika banyak orang mengais rezeki di tempat itu. Dan, kaum preman adalah kelompok yang pasti menempati pos terdepan. Mereka secara umum dibagi berdasarkan pekerjaan, wilayah, skill (ketrampilan), serta sejarah eksistensinya. Jadi, ada yang menguasai lahan parkir, juga ada yang “memegang” toko, restoran, lapak, kaki lima. Bahkan, tempat mesum dan rumah judi.

Dari sektor parkir saja, seorang preman bisa memperoleh setoran rutin antara Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu per hari. Dari penghasilan itu, mereka menyisihkan sekian persen rezekinya untuk oknum keamanan di tingkat polsek. “Kami harus bagi-bagilah itu dengan mereka,” tutur seorang tokoh preman yang dikenal di kawasan Simpanglimun.
Dewasa ini, ada dua organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) yang populer di kalangan kaum preman, yaitu Pemuda Pancasila (PP) dan Ikatan Pemuda Karya (IPK) pimpinan Olo Panggabean. Di berbagai pusat keramaian dan hiburan Kota Medan, selalu saja ada preman anggota PP atau IPK yang bertindak sebagai koordinator di lapangan. Untuk itu, tentu ada upah menarik yang mereka peroleh.

“Biasanya pihak pengusaha itu mengundang kami untuk mengamankan usahanya. Kalau kerja kami bagus, kami bisa memperoleh honor bulanan. Untuk daruratnya saja, kalau rajin, Rp 100 ribu per hari itu enggak ke mana. Tapi, kalau tiap hari datang, malulah. Mau ditaruh di mana muka ini?” kata Iwan Lubis. Pria bertampang sangar dan berambut gondrong itu tak lain seorang pengurus Pemuda Pancasila wilayah pusat bisnis Kota Medan. Menurut sejumlah pengusaha, rata-rata harga keamanan bulanan dari pengusaha berkisar antara Rp 75 ribu sampai Rp 100 ribu untuk tiap OKP.

Namun, urusan bagi-bagi rezeki itu terkadang memunculkan persoalan di antara “penguasa keamanan” itu sendiri. Yang masih segar dalam ingatan warga Medan, ketika terjadi pertarungan bersenjata antara Serka Marlon yang polisi dan sejumlah oknum tentara bersenjata sangkur.

# SURABAYA
Pasca-penembakan misterius 1983-1984, geng pada bubar di kota ini. Kini yang banyak “memegang” adalah kelompok Madura. Ada dua pentolan mereka yang sering disebut-sebut, yaitu Pak Wi dan Mbah Nari. Mereka bergerak di bidang perparkiran, pasar, dan jasa pengamanan. Namun, untuk sektor menengah atas seperti diskotek, tempat hiburan lain, dan pusat pertokoan yang berjaya adalah Pemuda Pancasila.

* Stasiun Wonokromo
Ketika malam datang, kawasan ini berubah semarak. Musik dangdut mengalun dari berbagai sudut. Lelaki dan perempuan tumplak dalam kegiatan judi campur pelacuran. Setiap hari, aneka jenis judi memang tersedia di sini. Mulai dari kelas receh seperti gaple sampai cap jie kie yang bernilai jutaan rupiah. Semua itu berjalan aman berkat kepiawaian seorang kepala keamanan ternama di sana. Lelaki itulah yang bertugas menjaga wilayah stasiun dari gangguan orang luar, termasuk meladeni razia atau sekadar kontrol situasi keamanan dari aparat resmi.

* Terminal Bungurasih
Sekelompok preman sudah tinggal di Terminal Bungurasih, jauh sebelum tempat itu dibangun pada tahun 1990. Di sana pernah lahir seorang tokoh preman terkenal bernama Mat Oyik. Ia kini menjadi pengusaha dan mengorganisasi pedagang asongan. Belakangan, aparat keamanan getol menyatroni, gara-gara wilayah tersebut menjadi tempat perdagangan ekstasi dan putauw, di samping makin seringnya aksi kejahatan penodongan.

* Pelabuhan Tanjungperak
Dua tindak kejahatan yang sering terjadi di wilayah pelabuhan adalah pemerasan dan perampokan. Itu belum termasuk penjambretan, penodongan, perampasan, dan penipuan. Sederet tempat yang menjadi langganan aksi pemerasan dan perampokan, misalnya, dermaga Nilam, Mirah, Berlian, Jamrud, dan Kalimas. Satu atau sekelompok kecil preman biasanya menguasai tempat itu. Namun, agak sulit mengidentifikasi siapa saja penguasa di sana, kecuali satu nama yang cukup dikenal: John Kelor.

# SEMARANG
Para penguasa Kota Semarang membagi “kue” kekuasaannya ke dalam tujuh bagian, yaitu Pasar Johar, Simpanglima, Karangayu, Banyumanik, Peterongan, Pelabuhan, dan stasiun. Kemudian, tiap bagian itu dipecah menjadi sub-sub wilayah, seperti selatan-atas, selatan-bawah, tengah, utara-atas, utara-bawah, Pasar Krempyeng, dan Pedamasan. Dari sub-sub bagian tadi, wilayah selatan-atas dan bawah merupakan daerah yang paling basah. Mungkin, itu disebabkan banyaknya pedagang kelas menengah yang mangkal di situ. Tempat lain yang tak kurang basah yakni kawasan Pedamasan. Di sini bongkar-muat barang dilakukan di bawah kontrol seorang berjuluk si Gendut. Pria berbadan subur itulah yang menetapkan uang keamanan Rp 500 sampai Rp 1.000 untuk skali tarikan. Dalam sehari terjadi minimal 25 kali bongkar-muat.

Selain jasa keamanan, bisnis-bisnis seperti perparkiran, pengamenan, dan pengemisan merupakan ladang strategis yang mampu mendatangkan uang dengan cepat. Dan, jenis pekerjaan itu terdapat hampir di semua sudut kota lumpia itu. Seperti juga di kota-kota lain di Indonesia, setiap wilayah kerja dijaga oleh preman, baik yang berasal dari jalanan maupun yang sudah ngepos di instansi tertentu. Yang patut disayangkan, selalu saja ada preman yang terlibat, atau merangkap sebagai pemain, minimal penadah barang-barang hasil kejahatan.

Dewasa ini, perebutan kursi antar-penguasa dunia hitam di Semarang makin kelihatan. Dari pengamatan D&R di lapangan, tampak ada dua kelompok yang sedang berebut pengaruh serta wilayah untuk menentukan siapa yang terkuat. Mereka ialah geng Cina asal Medan melawan geng lokal Semarang yang dibantu preman dari Jawa Timur. Separo pihak yang terlibat dalam suksesi itu, konon, kelompok preman yang selama ini menguasai bisnis judi. Ada fakta bahwa di tempat-tempat, seperti Johar Atas, Taman Parkir, Hotel Grand Rama, Depok, Kompleks Bukit Sari dan Tanah Mas, praktik perjudian dengan nilai ratusan juta per malam berlangsung aman-aman saja.

# BANDUNG

Di Bandung, orang biasanya menyebut kaum preman sebagai “okem”, kependekan dari prokem. Namun, ada kesan sinis dari julukan itu, sebab istilah okem berkonotasi merendahkan pekerjaan preman. “Habis kebanyakan okem Bandung mah tukang palak, suka mabuk, dan biang reseh,” tutur Tia, mahasiswi sebuah akademi swasta.
Pendapat Tia boleh jadi benar. Buktinya? Lihatlah di Terminal Kebon Kelapa pada saat jatah para okem dari sopir angkot tak terabaikan. Hampir pasti terjadi amukan para okem. Tidak jarang, mereka tega mengacak-acak tempat si sopir atau si tukang dagang yang dianggap melawan.

Contoh lain, Cicadas. Ini adalah sebuah wilayah di perbatasan Bandung Timur yang dikenal amat padat penduduknya. Di tempat ini, jatah preman biasa dipungut dari toko, pedagang, dan sopir angkot. Yang menyebalkan, kebanyakan preman Cicadas itu seperti calo. Maksudnya, mereka memunguti jatah kecil-kecil dari orang, kemudian memakai uangnya untuk minum-minum atau mabuk obat. Dengar pengakuan seorang tokoh jagoan setempat yang tidak mau disebut namanya. “Di Cicadas ini sebenarnya tak ada preman. Yang ada, siapa yang paling berani berantem atau sering keluar-masuk penjara, biasanya ia akan disegani. Itu saja.”

Di pusat pertokoan Bandung Indah Plaza, seorang anggota Pemuda Pancasila (PP) asal Irian dikabarkan menguasai tempat ini. Jatah preman yang diperoleh tokoh itu berasal dari sopir taksi yang setiap saat lalu lalang di Jalan Merdeka. “Bayangkan,” kata seorang calo taksi di Bandung Indah Plaza kepada D&R, “Setiap taksi harus menyetor Rp 500 sama dia. Dan, di sini ada seribu taksi yang tiap hari mondar-mandir. Apa enggak kaya dia?” Masih menurut sumber tadi, “Dulu, yang pegang wilayah ini si Martin Bule. Tapi, setelah dia mati tergilas kereta api, tak ada orang yang menguasai Bandung Indah Plaza, kecuali anak PP.”

Areal yang barangkali agak aman sekarang ini, justru kawasan alun-alun yang dulunya menjadi pusat keramaian Kota Bandung. Armen, penguasa kaki lima di Jalan Dalam Kaum mengatakan, “Di sini tidak ada lagi preman yang utuh. Semua orang punya usaha. Ada yang jaga parkir, berjualan koran, calo angkot, atau pedagang kaki lima.” Nama Armen memang cukup disegani di daerah itu. Terbukti kalau ada keributan di alun-alun, aparat keamanan paling hanya mencari Armen. Dulu, Bandung mempunyai sederet nama preman yang dikenal masyarakat. Salah satunya, karena keberadaan mereka yang sering membantu keamanan setempat. Aktor Rachmat Hidayat misalnya.

Masalahnya, kenapa kini kaum preman Bandung dipandang sinis oleh sebagian masyarakat?

Laporan Bambang Soedjiartono, Abdul Manan, Prasetya, Aendra H.M.
D&R, Edisi 970913-004/Hal. 102 Rubrik Laporan Khusus

Wajah baru DPRD Sumut Mengkhawatirkan

Selasa, 12 Mei 2009

Medan. Dari hasil perhitungan suara KPUD Sumut secara total, diperkirakan sekira 70 persen merupakan legislator wajah baru. Kebanyakan dari mereka merupakan pendatang baru dunia politik yang minim pengalaman. Ini sangat mengkhawatirkan peta politik dan pemerintahan di Sumut, karena akan menjadi mainan politk dari legislator incumbent dan birokrat. Hal ini dikatakan pengamat politik dari Universitas Sumatera Utara, Wardjio, MA ketika dihubungi Selasa sore, 12/5.

Menurut Wardjio, fenomena dan peta politik di DPRD Sumut akan berubah total karena beberapa faktor. Diantaranya, kegamangan masuk ke wilayah politik yang di Sumut ini sangat beda dengan eskalasi yang tinggi dan manuver yang tak terduga, sebagai contoh kasus propinsi Tapanuli yang ditengarai menjadi ajang politik legislator ulung. Kurangnya pengalaman legislator baru bagi pendatang baru ini akan mempengaruhi kebijakan elit birokrasi dan akan menjadi bulan-bulanan mereka.

“Saya melihat ada kecenderungan para elit politik lama dan elit birokrasi akan berupaya memanfatkan peluang kelemahan pendatang baru. Bila legislator mentah ini tidak belajar dan cepat beradaptasi sesuai dengan tugasnya, akan tergilas dan membuat kondisi pemerintahan pun akan rancu dalam kebijakan pembangunan,”jelasnya.

Lebih lanjut kekhawatiran staf pengajar fisipol USU Medan ini, menyangkut pemanfaatan terhadap mayoritas peraih kursi terbanyak untuk kepentingan sepihak. Dampaknya, lanjut Wardjio, pola ini akan membuat birokrasi menjadi tidak concern dalam pembangunan, akan lebih cenderung melayani dan mengistimewakan partai pemenang pemilu.

Seperti diketahui dari 100 kursi DPRD Sumut, partai demokrat meraih 28 suara dan menjadi mayoritas yang akan menduduki posisi penting, mulai dari jabatan ketua hingga di komisi-komisi.

Bambang Soed/Medan

Reformasi Macam Apa

Tuntutan reformasi makin keras. Tak lagi hanya dari mahasiswa, tapi juga dari para pengajar, seniman, dan kaum profesional lain. Macam apa yang mereka inginkan?

SEBELUM meninggalkan Tanah Air menuju Mesir pada Sabtu pagi kemarin, 9 Mei. Presiden Soeharto mengatakan reformasi sebetulnya sudah lama dijalankan di negeri ini dan akan terus dilangsungkan. Karena itu, menurut dia, persoalan reformasi sebenarnya tak perlu dipusingkan.

Sebelumnya, Ketua DPR-MPR Harmoko berucap senada. Menurut dia, fraksi-fraksi di DPR pun sepakat mengagendakan reformasi di bidang politik, ekonomi, dan hukum. Implementasinya, ya, dengan penyempurnaan dan pembuatan undang-undang. Adapun soal desakan mahasiswa untuk mengadakan sidang istimewa MPR, Harmoko mengatakan belum cukup dasarnya.

Kalau mendengar kedua keterangan itu. terkesan tak ada sebenarnya masalah besar dalam reformasi sebab sudah dan tengah dijalankam Tapi, begitukah? Rekaman berbagai komentar kalangan mahasiswa, dosen, cendekiawan, atau seniman berbunyi lain. Berikut ini beberapa cuplikan pandangan mereka.

* Merthinus Weriman, Ketua Senat Mahasiswa Universitas Cenderawasih, Jayapura

"Yang dituntut mahasiswa dan rekan-rekan lain adalah reformasi yang radikal, yang cepat, sekarang juga. Padahal, Pak Harto mengatakan baru dilakukan tahun 2003.

Reformasi harus di segala bidang. Dalam bidang politik harus diciptakan iklim yang demokratis. Khusus untuk Irianjaya, stigma OPM (Organisasi Papua Merdeka) harus dihilangkan. Kalau mahasiswa bicara kritis, dicap OPM. Ini tidak baik. Dalam bidang hukum harus ada kepastian. Hanock Ohee sudah diputus menang oleh Mahkamah Agung, tapi kemenangannya kemudian dianulir. Rakyat menjadi tak percaya."

* Maria Korano, Ketua Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi G.KK.I.S. Kijne,
Jayapura.

"Bagi Irianjaya, barangkali reformasi hukum agraria paling penting. Soal tanah ulayat harus jelas, sebab sering masyarakat pemilik tanah adat dirugikan dalam pembangunan proyek pemerintah."

* Syamsul Bahri, Ketua Senat Mahasiswa Universitas Islam Sumatra Utara, Medan

"Sidang istimewa MPR menjadi mendesak karena kebijakan pemerintah dalam menangani krisis sekarang tak jelas. Walau kabinetnya sudah terbentuk. terbukti eksekutitnya tak berdaya. Karena itu, legislatif harus bertindak sebelum keadaan lebih parah "

* Sofyan Tan Dokter, Aktivis Pembauran di Medan

"Perubahan yang mendasar dan mendesak itu dalam politik, bagaimana kebijakan bisa membuat orang punya pekerjaan dan bisa makan. Juga, bebas mengeluarkan pendapat serta hak asasinya terjamin."

* Fidelia, Ketua Senat Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

"Yang diinginkan masyarakat tak lain dari reformasi personal dan sistem. Jadi, pemerintah tidak akan dapat keluar dari krisis jika reformasi yang dilakukan hanya setengah-setengah. Sistem yang saya maksud misalnya adanya lima paket undang-undang politik dan tidak adanya kemerdekaan berpendapat.

Cuma, yang menjadi soal adalah bagaimana mungkin merombak sistem ketika yang berada di dalam sistem itu ternyata adalah orang-orang yang sudah sekian puluh tahun memandatkan sistem itu. Mereka akan mempertahankan status quo. Mahasiswa merasa sepertinya sudah tak ada jalan lain selain semua orang ini turun dulu. Memang, saya belum bisa berspekulasi siapa yang patut naik nanti."

* Paulus Heru Nugroho, Aktivis Universitas Airlangga, Surabaya

"Agenda yang paling mendesak tetap di bidang politik. Misalnya, kita ingin menghapus monopoli. Dengan sistem seperti sekarang sangat mungkin terbentuk lapisan kelas menengah mapan yang tak mandiri. Dan, mereka itu akan mengeruk kekayaan alam dan uang Indonesia untuk kepentingan sendiri.

* Pernyataan Sikap Senat dan Pimpinan Universitas Trisakti, Jakarta

"Untuk menyelamatkan rakyat, bangsa,dan Tanah Air Indonesia, kami mendukung sepenuhnya aspirasi dan tuntutan mahasiswa Indonesia umumnya dan mahasiswa Trisakti khususnya. Pada hakikatnya, mereka menyuarakan aspirasi seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki dilakukannya reformasi di segala bidang mulai sekarang juga."

* Pernyataan Bersama Pengajar dan Guru Besar Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor, Universitas Airlangga, dan Universitas Indonesia

"Aspirasi dan tuntutan mahasiswa tentang reformasi di segala bidang mempunyai dasar pemikiran yang kuat dan obyketif sehingga perlu didukung oleh seluruh jajaran dosen, guru besar, pimpinan, dan segenap sivitas akademika perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

Kami mengajak seluruh anggota sivitas akademika perguruan tinggi negeri dan swasta se-Indonesia serta para cendekiawan, alumni, kelompok profesional, lembaga swadaya masyarakat, organisasi-organisasi masyarakat dan keagamaan untuk bersama-sama menggalang kerja sama guna mewujudkan sasaran reformasi menyeluruh."

Laporan Abdul Manan (Surabaya), H.A. Ondie (Jayapura), L.N. Idayanie, R Fajri (Yogya), Rudianto Pangaribuan (Bandung), Bambang Soedjiartono (Medan) Rachmat H. Cahyono, M Husni Thamrin dan Ate (Jakarta).

D&R, Edisi 980516-039/Hal. 24 Rubrik Liputan Khusus

Pasrah Saja kalau Tak Punya Uang

Saturday, March 07, 1998 - Majalah D & R

Ada anggapan bahwa orang cina tak terpengaruh oleh krisis sekarang. Lalu muncul sentimen. Mereka pun diamuk. Benarkah semua orang cina kaya?

CERITA dari Medan selalu lain. Entah kalau kenyataannya demikian. Kalau di sejumlah kota di Indonesia keturunan Cina dihantui oleh bayang-bayang kerusuhan, mereka yang tinggal di Medan mengatakan tidah begitu terusik. Sebab, sampal saat ini tidak mengalami gangguan. Hanya rumor yang bermunculan, bukti nyatanya tak ada.

Menurut pantauan D&R, sasana bisnis di kota itu memang tak terganggu kendati harga barang tetap tinggi walau operasi pasar telah diadakan. Karena itu, wajar kalau warga Cina-nya bisa tenang-tenang saja. Contohnya Penny, orang Cina pemilik kedai kopi di Jalan Mesjid, Medan. "Lihat bagaimana nanti sajalah. Semua terserah Tuhan saja. Saya kan lahir dan besar di Medan. Jadi tidak akan ke mana-mana," ucap perempuan lajang berusia 47 tahun itu. Penny yang mengusahakan kedai kopi bersama adik-adiknya yang sudah berkeluarga itu menambahkan, dirinya tak akan hengkang ke luar negeri. "Modal apa yang mau kami larikan ke luar negeri? Seandainya saya kaya pun cukup di Medan
saja berusaha."

Seperti Penny, Indra Wahidin, Wakil Ketua Bakom PKB Sumatra utara, mengatakan dirinya tak mengkhawatirkan kerusuhan. Sebab, kata generasi ketiga yang lahir di Medan itu menyebut selama ini dirinya berhubungan baik dengan semua kalangan. "Bisa saja karena itu kita dilindungi." Meski demikian, Indra yang dokter itu mengakui bahwa rasa tak aman memang tetap ada dalam dirnya. Karena itu, ia senantiasa awas.

Seperti di kota lain, perekonomian di Medan juga dikuasai orang Cina. Mereka itu umumnya tinggal di pusat kota dan kawasan bisnis lain yang sedang tumbuh. Agak sulit menaksir berapa besar aset mereka karena tertutup, seperti kata Subaninyo Hadiluwih, Asisten Direktur Eksekutif Institut Bina Bisnis Indonesia Medan.

Subanindyo menyebut, dibanding dengan etnik sejenis di Pulau Jawa, Cina Medan lebih sering bepergian untuk urusan keluarga dan bisnis ke negara tetangga. Terutama ke Singapura, Malaysia, Taiwan, dan Hong Kong. Ada sebuah tradisi bahwa Cina Medan yang telah bereksepsi tak pernah melepaskan akarnya. Mata rantai bisnis dengan Medan tetap dipelihara. Dengan demikian, kata pengamat tentang Cina yang menulis buku Studi tentang Masalah Tionghoa di Indonesia: Studi Kasus di Medan tersebut, pelarian modal sangat mungkin terjadi selama ini. Tapi, bukan karena kerusuhan yang marak belakangan ini.

Kerusuhan besar anti-Cina di Medan hanya terjadi pada tahun 1966 dan 1994. Aksi mengganyang Partai Komunis Indonesia berubah menjadi keluruhan anti-cina pada tahun 1966. Demikian juga unjuk rasa Serikat Buruh Sejahtera Indonesia pimpinan Muchtar Pakpahan di tahun 1994.
Kalau di Medan orang cina masih bisa tenang-tenang, tidak demikian di Surabaya dan beberapa kota Jawa Timur lainnya. Sejumlah gejolak anti-cina di sana belakangan ini telah membuahkan ketakutan. Kasus terakhir terjadi di Kraton, Pasuruan, awal Februari kemarin. Waktu itu sekitar 12 rumah toko (ruko) milik cina dilempari massa. Ada pula yang dilempari dengan bom molotov. Memang tak ada korban jiwa dalam amuk yang dipicu oleh kenaikan harga minyak tanah menjadi Rp 1.000 per liter tersebut.

Sosiolog Dede Oetomo membandingkan suasana sekarang dengan ketakutan orang cina di Bali pada tahun 1965-an, yang membuat mereka harus mengungsi ke Pulau Jawa. Kalau sekarang mereka hengkang dari Pulau Jawa dan beberapa kota lain ke luar negeri. Menurut Dede, selama krisis sudah sekitar US$ 1 miliar uang Indonesia yang diparkir di luar negeri. Tentu sebagian besar adalah dana orang cina. Tapi, ketakutan orang cina ini, kata Dede, merupakan gejala lama. Dan, indikasinya sudah bisa dibaca saat pemilu kemarin. Adanya bukan hanya di kalangan kaum keturunan, tapi di lingkungan kaum kelas menengah umumnya.

Kerusuhan itu, menurut dosen sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga tersebut tak bisa dijadikan sebagai indikasi kemarahan kepada orang cina. "Saya tak melihat itu. Yang terjadi adalah kerusuhan yang diberi warna anti-cina." Dede mencontohkan amuk di Kraton, Pasuruan. Waktu itu Toko Wahid milik pribumi juga ikut dibakar. Jadi, yang menjadi sasaran bukan hanya cina, tapi mereka yang ekonominya berlebih. Dede membenarkan bahwa kebencian itu memang ada. Tapi, secara umum benci kepada kalangan berduit, yang diberi cap anti-cina atau anti-Kristen. Dede yakin orang seperti dirinya tak ada masalah. "Seperti saya, Arief Budiman, atau Kwik Kian Gie itu sudah seperti luntur bau cina-nya."

Daniel J.T., dosen psikologi di Sekolah Al-Kitab Surabaya menyebut, ada pandangan dalam masyarakat bahwa orang cina tak terpengaruh oleh krisis sekarang. Pandangan inilah menurut dia yang memunculkan sentimen. Apalagi ada juga orang cina yang tidak peduli. "Mungkin mereka menganggap kita ini berasal dari keluarga yang sangat mampu semua, sehingga tidak terimbas krisis."

Adanya pandangan yang keliru tadi, kata Daniel, telah menyudutkan kelas menengahhawah orang Cina. Kalangan ini sebenarnya tidak mengerti apa-apa tapi menjadi korban dalam kerusuhan seperti yang terjadi di Ujungpandang dan Jawa Tengah belum lama ini. Mereka hanya bisa pasrah.

Bambang Soedjiartono dan Abdul Manan

D&R, Edisi 980307-029/Hal. 65 Rubrik Bisnis & Ekonomi

Satu Domba Dua Karib

Kredit sekian triliun rupiah di Bank Mandiri rawan macet. Agresifnya pembelian aset kredit dari BPPN dan pengucuran pinjaman ke sejumlah politikus dituding jadi penyebab.

SERATUSAN orang pengunjuk rasa berteriak-teriak di depan kantor pusat Bank Mandiri, Jakarta, Selasa pekan lalu. Terik sinar matahari tak menyurutkan semangat mereka. Sambil mengusung aneka poster dan spanduk, mereka menyoal gunungan kredit bermasalah di bank beraset Rp 250 triliun itu. Bank pelat merah yang baru go public itu dituding telah berlaku sembrono dalam menyalurkan kredit, dengan mengabaikan syarat kelayakan usaha para debitornya. "Triliunan rupiah uang rakyat di Bank Mandiri telah dikelola seenaknya," kata Anton, salah satu demonstran.

Para pengunjuk rasa yang antara lain menggabungkan diri dalam perkumpulan bernama Gerak—Gerakan Rakyat Anti-Korupsi—itu rupanya tak asal bicara. Mereka mengaku telah mengantongi segepok data sebagai bukti. Salah satunya menyangkut pembelian kredit PT Domba Mas dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) senilai Rp 1,15 triliun, yang pembayaran cicilannya kini masuk kategori kurang lancar.

Pengamatan TEMPO di lokasi pabrik Domba Mas, perusahaan eksportir kacamata, di Tanjung Morawa, Sumatera Utara, memang mendapati suasana muram. Dalam tiga bulan terakhir, perusahaan itu terus melakukan pengurangan pegawai. Dari jumlah semula 1.500, kini tinggal 700 karyawan saja.

"Kami ditawari mengundurkan diri dengan alasan efisiensi dan volume ekspor berkurang," kata Simamarta, seorang pegawai di sana yang masa kerjanya enam tahun disudahi dengan dana pesangon Rp 9 juta.

Bos Domba Mas, Sutanto Lim, pun kini jarang terlihat di pabrik. "Dia sekarang lebih suka mengurus usaha kebun sawit dan peternakan babi," ujar Simamarta lagi.

Selain Domba Mas, juga dipermasalahkan penyaluran sejumlah besar kredit kepada para politikus. Salah satunya adalah Oesman Sapta. Para demonstran menuding, pinjaman kepada pengusaha yang juga Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat itu diberikan secara tak patut, dan digelontorkan semata berdasar kedekatan hubungan Oesman dengan Direktur Utama Bank Mandiri, E.C.W. Neloe. Salah satu bukti, masih kata barisan pemrotes, adalah keanggotaan Novan Andre Paul Neloe, putra Neloe, di Partai Persatuan Daerah yang diketuai Oesman.

Dokumen akta pendirian partai itu, yang diperoleh TEMPO, memang menunjukkan hal serupa. Dibuat di depan Notaris Herlina Pakpahan di Rangkas Bitung, nama Novan jelas tercantum sebagai salah satu pendiri.

Politikus lain yang kena senggol dalam urusan kredit bermasalah ini tak hanya Oesman. Masih ada seorang lagi, Habil Marati, anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan DPR. Wakil rakyat dari daerah pemilihan Sulawesi Tenggara ini disinyalir telah menerima kucuran dana Rp 300 miliar untuk membiayai proyek pemrosesan cokelat, pabrik seng, pembibitan udang, dan pengalengan ikan.

Kenyataannya, kata Anton, demonstran yang juga berasal dari Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, "Proyek-proyek itu tak berjalan sehingga kreditnya berpeluang macet."

Pekan ini Anton dan kawan-kawan akan berbondong-bondong menemui pimpinan Dewan di Senayan. "Kami akan membuka data-data yang lebih terperinci kepada mereka yang berkomitmen dan berkompeten meneruskan kasus ini," ujar Abdul Haris Maraden, koordinator pengunjuk rasa.

Berbagai kecurigaan yang telah dilansir ke muka publik itu tak pelak menempatkan Bank Mandiri kembali berada di bawah lampu sorot. Soalnya, untuk urusan membeli aset kredit, bank pemerintah terbesar ini memang tergolong sangat agresif. Sampai akhir semester lalu, "Si Pita Emas" tercatat telah memborong aset kredit dari BPPN senilai Rp 4,9 triliun.

Apalagi, belum lama ini Deputi Gubernur Bank Indonesia Maman Soemantri telah merilis peringatan: salah satu penyebab naiknya rasio kredit busuk perbankan adalah pembelian aset kredit dari BPPN secara ugal-ugalan. "Kalau bank tak mampu mengelola sehingga kualitasnya turun, kredit macet bisa bertambah," Maman mengingatkan.

Lampu kuning pun telah menyala dari sejumlah data. Menurut laporan yang dilansir untuk para investor, kualitas kredit Bank Mandiri memang tak begitu mulus. Jumlah kredit dalam pengawasan yang membaik menjadi kredit lancar, misalnya, cuma senilai Rp 2,2 triliun. Sebaliknya, jumlah kredit lancar yang turun tingkat menjadi kredit dalam pengawasan mencapai Rp 2,4 triliun.

Alarm berbunyi makin keras di tingkat selanjutnya. Jumlah kredit kurang lancar yang membaik ke kredit dalam pengawasan cuma Rp 300 miliar. Sebaliknya, kredit dalam pengawasan yang memburuk ke kredit kurang lancar melonjak menjadi Rp 1,4 triliun.

Mungkin itu sebabnya Bank Mandiri belakangan ini jadi begitu waspada. Ibarat petinju, mereka sudah memasang double cover rapat-rapat untuk menghadapi risiko melonjaknya kredit macet. Rasio penyisihan penghapusan aktiva produktifnya (PPAP) dipatok hingga 178,2 persen dibandingkan dengan kredit macet. Nilai PPAP itu Rp 4,5 triliun lebih tinggi daripada provisi minimum yang ditetapkan oleh bank sentral.

Toh, pihak-pihak yang terkait membantah berbagai sinyalemen minor Gerak di atas. Wakil Presiden Direktur I Wayan Pugeg menyatakan banknya tak goyah seinci pun, karena aset-aset tersebut dibelinya dari BPPN dengan harga megadiskon. "Cuma 15-20 sen dan tergolong utang lancar," ujarnya. Termasuk yang masih lancar, kata Pugeg, adalah kredit Domba Mas di atas. "Kalau ada short liquidity di sebuah perusahaan, itu kan biasa. Tapi nggak sampai macet, kok," ujarnya.

Subiyanto, General Manager Domba Mas, juga membantah kabar tak sedap yang menerpa perusahaannya. Semasa krisis, katanya, pihaknya memang sempat mengalami kesulitan membayar pinjaman. Apalagi jumlah utang pun meroket gara-gara lonjakan kurs. Tapi kini kondisinya berbeda. "Pembayaran kredit sekarang masih tergolong lancar," kata Subiyanto dalam jawaban tertulisnya kepada majalah ini.

Seorang pejabat Mandiri membisikkan, dua pekan lalu Domba Mas telah kembali mengangsur pembayaran utang. Tapi belum jelas apakah cicilan itu untuk masa satu bulanan atau tiga bulanan. "Kalau bulanan, berarti bulan depan kreditnya masuk kategori lancar lagi. Tapi, kalau tiga bulanan, ya baru tiga bulan lagi dihitung kategori lancar," ujarnya.

Habil Marati, yang kini sedang mencalonkan diri menjadi Ketua Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia, pun membantah kreditnya di Mandiri bermasalah. "Saya memang mendapat kredit dari Bank Mandiri, tapi nilainya kecil. Tak sampai Rp 300 miliar dan masih lancar," katanya. Sebagai pengusaha, menurut Habil, wajar-wajar saja jika dia mendapat pinjaman. "Kalau nggak boleh dapat kredit, nggak maju dong perusahaan saya," kata anggota Komisi Perbankan DPR itu.

Di luar urusan dinas, Habil mengaku telah lama berteman karib dengan Neloe. "Saya sudah dekat dengan Neloe jauh sebelum dia menjadi Direktur Utama Mandiri," ujarnya. Kebetulan, mereka lahir pada tanggal dan bulan yang sama. Namun Habil menepis tuduhan bahwa faktor hubungan intim itulah yang telah memuluskan kucuran kredit ke perusahaannya. "Kedekatan saya dengan dia murni pertemanan," ujar Direktur PT Batavindo Kridanusa itu. "Sebagai bankir, dia juga akrab dengan banyak politikus lainnya."

Lain Habil, lain lagi Oesman Sapta. Kepada mingguan ini Oesman bahkan membantah memiliki sangkutan kredit dengan Bank Mandiri. "Saya tak punya utang sepeser pun ke Bank Mandiri," ujar pengusaha hutan yang juga menjabat Presiden Komisaris Lion Air itu.

Sebagai teman, kata Oesman, ia malah merasa kerap dirugikan kebijakan Neloe. Sewaktu Mandiri menjual saham, misalnya, ia tak boleh ikut memesan. "Padahal saya kan mau untung juga," katanya. Dalam soal perkawanan itu, dia mengaku tak cuma bersahabat karib dengan Neloe, tapi juga berhubungan erat dengan anak-anak sang Direktur Utama Mandiri. "Kalau anaknya masuk partai saya, apa salahnya?" Oesman balik bertanya.

Nugroho Dewanto, Y. Tomi Aryanto, Thomas Hadiwinata, Bambang Soedjiartono (Medan)

Majalah Berita Mingguan Tempo, 20 Oktober 2003) -http://majalah.tempointeraktif.com

Kiat Menghidupi Kampus

Sabtu, 23 Mei 2009

Subsidi pendidikan pemerintah terlalu pas-pasan, sehingga kampus
negeri mencari tambahan dana dengan membuka kelas sore. Hasilnya cukup
untuk menyambung hidup.

--------------------------------------------------------------------------------
DI banyak negara, pos anggaran untuk pendidikan bisa mencapai 10
persen dari total anggaran pemerintah. Tapi di Indonesia, bahkan
ketika ekonomi masih normal, anggaran pendidikan tak sampai 2,5
persen, atau sekitar Rp 5,5 triliun, dari anggaran pendapatan dan
belanja negara.
Padahal, jatah anggaran itu mesti dibagi-bagikan kepada sekitar 500
ribu sekolah dan 51 perguruan tinggi negeri. Jumlah yang terbatas itu
dipakai untuk pembayaran gaji guru dan dosen, pemeliharaan bangunan,
pembangunan kelas-kelas baru, serta untuk biaya operasi harian,
seperti pengadaan kertas kerja atau bahan praktikum.

Dalam pada itu, biaya pengelolaan perguruan tinggi negeri, misalnya,
semakin lama semakin besar. Sebaliknya, subsidi anggaran dari
pemerintah semakin tak mencukupi kebutuhan.

Itu sebabnya pemerintah memperkenankan para pengelola kampus negeri
untuk menyelenggarakan program pendidikan di luar program reguler.
Program ekstra itu bisa berupa kelas ekstensi (sore), baik untuk
program diploma-3 (D-3), strata-1 (S-1, sarjana), maupun strata-2
(S-2, master).

Bagai gayung bersambut, keran otonomi anggaran itu langsung
dimanfaatkan kampus negeri. Universitas Indonesia (UI), contohnya,
merintis bisnis dengan membuka berbagai kelas sore. Untuk program D-3
saja, fakultas sastra serta fakultas ilmu sosial dan ilmu politik
(FISIP) telah melahirkan 16 program studi.

Lantas, untuk program S-1, UI membukanya di fakultas teknik, hukum,
ekonomi, psikologi, dan FISIP. Masih ada lagi program S-2 berupa
spesialisasi ilmu kedokteran dan ilmu hukum, plus magister manajemen
(MM), yang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP)-nya sekitar Rp 30
juta.

Dari situlah UI bisa menutup dana sebesar Rp 49,9 miliar dari total
pengeluarannya yang Rp 105,8 miliar setahun. Untuk menutupi sisa
biaya, tentu saja UI masih mengharapkan subsidi pemerintah.

Langkah serupa dilakoni Institut Pertanian Bogor (IPB). Program D-3,
belakangan juga program MM, diakui oleh Pembantu Rektor II IPB Dr.
Bunasor Sanim sebagai tambang uang bagi universitas negeri yang
berusia lanjut itu.

IPB bahkan juga mengepakkan sayap bisnis di luar pendidikan, seperti
usaha warung telekomunikasi, fotokopi, percetakan, serta usaha jasa
konsultasi peternakan dan pertanian.

Di luar itu, masih ada lagi bisnis kerja sama IPB dengan pihak swasta.
Pertama, proyek agrobisnis perkebunan mangga senilai Rp 78 miliar
bersama Grup Bakrie. Kedua, kerja sama dengan perusahaan properti
untuk memanfaatkan lahan tak produktif di Rancamaya, Bogor.

Dari bisnis itu, IPB mencetak pemasukan Rp 26,1 miliar. Bagi
pemerintah, angka itu cukup lumayan. Sebab, dengan total pengeluaran
IPB sebesar Rp 51 miliar, subsidi pemerintah tinggal Rp 24,9 miliar.

Institut Teknologi Bandung (ITB) malah bisa menutup sekitar Rp 80
miliar dari total pengeluarannya tahun lalu, yang mencapai Rp 105
miliar. Pemasukan itu diperoleh ITB dari uang pendidikan D-3 sampai
MM, plus bisnis lain seperti penjualan hasil penelitian.

Di Yogyakarta dan Medan, kampus negeri juga mengupayakan kiat serupa.
Sementara Universitas Gadjah Mada (UGM) di Yogya menempuh bisnis di
jalur pendidikan, Universitas Sumatra Utara (USU) di Medan menggarap
bisnis perkebunan.

Memang, total dana dari aneka bisnis tadi masih belum mungkin menutupi
total pengeluaran kampus. Lagi pula perguruan tinggi negeri tak
mungkin bebas dari subsidi pemerintah. Urusan gaji pegawai dan dosen,
umpamanya, seperti dikatakan Rektor UGM Prof. Ichlasul Amal, tetap
menjadi tanggung jawab pemerintah.

Persoalannya tinggal lagi manajemen bisnis pendidikan nonreguler.
Jangan sampai terjadi "perburuan" dana sebesar-besarnya, sementara
mutu dan manajemen pendidikannya telantar. Sebab, selama ini, gelar
dan logo kampus negeri bukanlah barang asal-asalan alias tidak untuk
diperjualbelikan.

Ma’ruf Samudra, Dewi Rina Cahyani (Jakarta), dan Bambang Soedjiartono
(Medan)


Sumber: Tempo On-Line